GERBANG BETAWI

Mengintip Konstelasi Politik Kaum Betawi Lewat Kuliah Publik

| dilihat 888

catatan bang sém

RABU, 23 Desember 2020, lepas tengah hari, Perkumpulan Gerbang (Gerakan Kebangkitan) Betawi  - Perkumpulan kaum Betawi terdidik, yang didirikan oleh para mantan aktivis Keluarga Mahasiswa Betawi menggelar kuliah publik.

Para profesional, akademisi, pengusaha, birokrat, politisi, jurnalis, pemikir dan praktisi seni budaya, berhimpun di perkumpulan ini. Agak berbeda dengan perkumpulan Betawi lainnya, Gerbang Betawi tidak dipimpin oleh Ketua Umum, melainkan oleh Direktur Eksekutif, dr. Ashari.

Agus Suradika, guru besar ilmu dan metodologi penelitian sosial -- di Universitas Muhammadiyah - Jakarta,  'anak Blok A' - Kebayoran Baru, yang berpengalaman panjang di dunia akademik dan birokrasi, mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah, kembali menjadi pemateri.

Materi kuliah bertajuk "Kepemimpinan Masyarakat Betawi : Organisasi Masyarakat, Partai Politik, dan Birokrasi." Muhammad Taufik - Wakil Ketua DPRD Jakarta, hadir sebagai pembicara kunci.

Perkuliahan virtual yang dipandu jurnalis M. Syakur - itu juga dihadiri sejumlah cendekia Betawi yang concern dengan kebetawian secara multidimensi, seperti Bang Zulkifli Junaedi - dokter sekaligus pensyarah ilmu kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, Bang Beki Mardani - Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi, Bang Lay - jurnalis senior dan penulis buku piawai ihwal saham, Bang Icoel - anggota Dewan Pustaka DKI Jakarta, Roni Adi - anak muda yang peduli dengan intelektualita dan literasi Betawi, pun mahasiswa Betawi di rantau.

Perkuliahan diawali pembacaan puisi yang menyentak dari seniman - budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, yang mentransfer pandangan dan sikap kritisnya ihwal kepemimpinan negeri ini.

Taufik, mantan aktivis mahasiswa dan penggiat komunikasi massa (radio) sejak muda, tampil sungguh sebagai seorang politisi. Betawian dari Tanjung Priok mengkili-kili tak hanya political think and sensing, tapi juga membuka cakrawala ihwal ruang-ruang pemeranan politik kaum Betawi.

Taufik mencungkil celah peluang di tengah tantangan peran proposional kaum Betawi, termasuk peluang kepemimpinan politik, baik di Jakarta maupun nasional. Dengan perspektif dan sudut pandang 'anak pesisir,' Taufik menghadirkan dimensi politik secara panoramis. Intinya: peluang kaum Betawi memainkan peran politik, termasuk kepemimpinan, terbuka. Partai politik, menurutnya merupakan ajang praktis yang mesti digumuli. Tentu dengan proses kaderisasi yang matang.

Agus Suradika dengan perspektif akademik, menghadirkan realitas dari empirismanya selama ini. Setidaknya, dia mengingatkan sejumlah faktor penting dimensi pemeranan politik kaum Betawi. Mulai dari kepemimpinan (leadership dan leader), sampai momentum - situasi.

Gamblang, Agus mengupas ihwal mosaik kaum Betawi dalam formasi politik (khasnya di Jakarta) pada lingkup partai politik, birokrasi, dan organisasi kemasyarakatan. Agus memberikan sejumlah celah masuknya berbagai ruang pengembangan pemikiran yang bisa dielaborasi melalui serangkaian intellectual exercises.

Menyimak materi kuliah yang disampaikan Agus dan melihat koneksitasnya dengan yang disampaikan Taufik. Juga ekspresi 'kegelisahan' pemeranan aktif dan aktual yang terpercik dalam pengantar kuliah dr. Ashari, segera terbayang realitas 'blended society' yang tertahbis sebagai origin society di berbagai ibukota negara.

Sejak Kongres Kebudayaan Betawi - KKB (Desember, 2011) saya tak lagi melihat Betawi dan Betawian sebagai etnis, karena proses blended yang terjadi, justru menggerakkannya ke arah masyarakat to be nation. Masyarakat membangsa, laiknya masyarakat Aceh (Achais) setidaknya sejak bercokolnya Portugis (di penghujung kepemimpinan Prabu Surawisesa - Padjadjaran) - kemudian Inggris, Belanda, dan Jepang -- yang mewarnai era transisi agraris - industri.

Betawian terbentuk melalui proses society blended antara etnis (Melayu, Banten, Sunda, Jawa, Bugis, Ternate - Tidore) dan antara bangsa (Arab, China, Eropa) yang secara antropologis masih bisa disoal, khasnya pandangan tentang sublimasi antara protonesia dan austronesia.

KKB merekomendasikan beberapa hal terkait dengan aksentuasi budaya masyarakat Betawi, yang saya pahami 'sangat Betawian.' Antara lain dengan penegasan, bahwa budaya Betawi (di satu sisi) merupakan bagian dari budaya domestik asli sebagai refleksi aktual Indonesia. Meskipun (di sisi lain) ada upaya membangun konstruksi adat dengan pemikiran tentang 'pemangku adat' dan stilisasi kearifan lokal. Dari rekomendasi KKB, kala itu saya melihat ada semacam pemikiran ulang tentang karakteristik Betawian yang egaliter dan kosmopolit.

Lepas dari bagaimanapun, saya melihat rekomendasi KKB bermanfaat untuk digali dan dikaji ulang dalam melihat korelasi antara presentisme dengan futurisma ke-Betawi-an. Tak hanya karena Jakarta menjadi ibukota negara sekaligus ibukota Asia Tenggara dan menjadi bagian strategis warga peradaban global.

Di sini, materi kuliah Agus Suradika menjadi menarik, ketika kepemimpinan masyarakat Betawi hendak dilihat konteksnya dengan dinamika budaya - politik, budaya politik, dan politik budaya, termasuk pola-pola relasi sosial Betawi secara inward looking dan Betawian secara outward looking. Tantangannya adalah bagaimana melakukan reintegrasi tanpa mengabaikan keragaman orientasi politik.

Melihat realitas sosial hari ini -- dengan berbagai fakta brutal: ketimpangan sosial, ketidak-adilan, represi pluralisme --, terutama keterberaian masyarakat dalam konteks gerakan sosial yang tak terwadahi. Terutama akibat pragmatisme politik yang menyediakan ruang luas bagi oligarki, dan arus besar koalisi kepentingan kuasa partai politik.

Dalam situasi itu, saya melihat  political sensing kaum Betawi dalam konteks relasi leader - follower mendapatkan ruang kristalisasi, melalui sosok Habib Muhammad Rizieq Shihab,  sebagai simbol (sekaligus) pemersatu kaum Betawi dan Betawian yang termarginalkan di kampungnya sendiri (unifier la société opprimée).

Political sensing lebih dominan, katimbang political think - yang sudah terkontaminasi oleh 'akal-akalan politik' berbagai wadah yang seharusnya menjadi wadah penyalur aspirasi sosial. Di antara keduanya, political instink mesti harus dibangun untuk melayari interaksi sosio politik ke depan.

Agus Suradika dan Taufik tepat ketika memilih terminologi transformasi (perubahan dramatik) politik kaum Betawi, dan ini peluang bagi Gerbang Betawi untuk memfasilitasi dialog scenario plan untuk merumuskan grand strategy kaum Betawi ke depan. Kuliah serial ini sangat menarik dan bermanfaat untuk memahami konstelasi Betawi di tengah arus perubahan politik storm und drang !

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya