Hot Spot Indonesia - Malaysia

Yeo dan Siti Segeralah Bertemu, Halau Asap

| dilihat 2206

Bang Sèm

Ternyata, cerdas dan muda saja tak cukup untuk memangku jabatan Menteri. Perlu kematangan jiwa, keluasan minda, dan kearifan dalam melihat hubungan antar negara serantau.

Ini komentar saya untuk Yeo Bee Yin, yang sejak 2 Juli 2018 dilantik sebagai Menteri Energi, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Lingkungan dan Perubahan Iklim dalam kabinet Pakatan Harapan.

Yeo lahir 26 Mei 1983 di Gomali Estate dan dibesarkan di Batu Anam, sebelah utara Johor Bahru, boleh jadi memang cerdas.

Dia lulusan Universiti Teknologi Petronas, sarjana teknik kimia. Dia pernah bekerja di Schlumberger, perusahaan minyak dan gas Amerika Serikat, sebagai insinyur lapangan internasional untuk eksplorasi dan produksi minyak. Kemudian memperoleh gelar MPhil (Magister Filsafat) jurusan Teknik Kimia di Universiti Cambridge.

Tapi jam terbang politiknya belum cukup membuatnya matang.  Yeo terjun ke dunia politik lewat Partai Aksi Demokratik (DAP) yang didirikan Lim Kit Siang pada usia 29 tahun, bertarung di Damansara Utama (5 Mei 2013) yang menjadikannya anggota termuda di Dewan Undangan Negeri ( baca: DPRD) Negara Bagian Selangor.

Di DAP dia menjabat Asisten Sekretaris Publisitas Nasional, dan dalam Pilihan Raya Umum 14, 9 Mei 2018 terpilih sebagai anggota parlemen dari daerah pemilihan Bakri, Johor Bahru. Di Pakatan Harapan dia menjabat Wakil Ketua Pemuda.

Sejak beberapa hari terakhir, Yeo jadi buah bibir, karena pernyataan dia ihwal asap yang menyergap beberapa wilayah Malaysia. Yeo terkesan menuding sumber asap itu dari kebakaran hutan di wilayah Indonesia. Dia mengungkapkan sejumlah data dari sumber yang menjadi rujukannya, asmc.asean.org.

Situs ini, pada Jum'at (13/9/19) pukul 19:44 mengabarkan, di kawasan ASEAN utara, rainband terkait dengan sistem cuaca yang berkembang di sebelah timur Filipina membawa hujan ke sebagian besar wilayah itu.

Di wilayah ASEAN selatan, umumnya kondisi kering terjadi, kecuali untuk hujan terisolasi di Sumatera utara, Semenanjung Malaysia, dan Sabah.

Kabut asap tersebar luas diamati di Sumatera tengah dan selatan, di mana titik api yang terus-menerus di Riau dan Jambi terus memancarkan kabut asap sedang hingga pekat.

Beberapa kabut asap dari titik api terus mempengaruhi bagian Semenanjung Malaysia dan Singapura.

Di Kalimantan, kabut asap sedang hingga padat terus diamati berasal dari titik api yang terus-menerus di provinsi Kalimantan Selatan, Timur, Barat, dan Tengah.

Beberapa kabut asap telah diterbangkan oleh angin yang bertiup ke Sarawak barat dan wilayah Laut Cina Selatan yang berdekatan.

Atas dasar semua informasi itu, untuk beberapa hari ke depan, diperkirakan, cuaca basah di kawasan ASEAN utara dan angin bertiup dari barat laut atau timur laut.

Di wilayah ASEAN selatan, kondisi kering diperkirakan akan bertahan, dan angin diperkirakan akan bertiup dari tenggara atau barat daya. Kondisi kabut dapat diperkirakan bertahan di beberapa bagian wilayah tersebut.

Situasi dan kondisi ini merupakan persoalan bersama. Yang harus dilakukan, bukan bersilang cakap siapa sumber masalah kabut yang mengancam kesehatan manusia di dua negara dan sekitarnya. Melainkan, bagaimana berkomunikasi intensif menemukan solusi. Ada hal yang jauh lebih utama daripada hanya berpolemik tentang sumber asap, yaitu bagaimana segera memadamkan kebakaran hutan dan mengurangi kepungan asap di musim kemarau.

Termasuk, bagaimana menyelesaikan persoalan asasi lainnya. Yaitu mencegah terjadinya alih komoditas di lahan yang sebelumnya diperuntukan bagi kebun sawit. Terutama ketika harga sawit Indonesia dan malaysia terus mengalami penurunan, akibat tekanan pasar global.

Sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Siti Nurbaya Bakar sudah tepat.  Siti yang juga salah satu Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem, tak akan berpolemik, melainkan fokus menyelesaikan masalah.

Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) - kolaborasi dengan Siegen University, Jerman ini menyelesaikan studi magister di International Aerospace Survey and Earth Science (ITC), Enchede, Belanda. Siti juga dosen di IPB, almamaternya ketika menyelesaikan studi S1 (sarjana). Sebelum menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti pernah menjabat Sekretaris Jendral Departemen Dalam Negeri dan Sekretaris Jendral Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (di Malaysia, Dewan Negara).

Saya anjurkan Yeo dan Siti harus bertemu, di Kuala Lumpur atau Pekanbaru, untuk memperoleh atmosfer terbaru bagaimana pengaruh asap telah mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Kedua menteri itu perlu melakukan dialog langsung untuk merumuskan scenario plan mengatasi masalah. Saling bertukar cara menyelesaikan masalah, termasuk menjelaskan tawaran kerjasama Malaysia kepada Indonesia untuk bekerjasama menanggulangi titik-titik api sumber bencana asap.

Apalagi, selama ini, Siti dan satuan tugas kebakaran hutan yang dibentuknya, telah bekerja keras memadamkan titik api guna mengurangi dampak bencana asap, meskipun belum sepenuhnya mengatasi masalah secara permanen.

Yang jelas, satuan tugas itu  telah mendapat pengakuan internasional, berupa Global lanscape Fire Award 2019 dari Global Fire Monitoring Center (GFMC). Penghargaan itu diperoleh sebagai apresiasi atas kerja keras Pemerintah Indonesia dan seluruh stakeholders dalam upaya pengendalian Karhutla pasca kejadian dahsyat tahun 2015.

Johann Georg Goldammer, koordinator GFMC, menilai, Siti berhasil melakukan berbagai langkah koreksi menyeluruh dalam mengurangi dampak buruk kebakaran hutan terhadap lingkungan dan kemanusiaan secara global.

Global Fire Monitoring Center (GFMC) merupakan jaringan sukarela global yang menyediakan saran kebijakan, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan suatu negara untuk mengurangi dampak negatif dari kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan dan kemanusiaan.

Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan dan langkah koreksi besar-besaran pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Langkah perubahan sudah dan terus dilakukan.

Jika sebelumnya pengendalian karhutla lebih difokuskan pada aspek pemadaman, maka kini antisipasi dilakukan pada tahap pencegahan. Pada fase penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, kini dilakukan secara terpadu dengan melibatkan seluruh stakeholders, mulai dari unsur Manggala Agni, BNPB (badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional), BPBD, (badan Penanggulangan Bencana Daerah). Polisi, Tentara Nasional Indonesia, dan lainnya.

Tahun 2019 ini, dalam penanggulangan kebakaran hutan, pemerintah dihadapkan pada kondisi cuaca dan massifnya kembali pembakaran lahan secara sengaja. Untuk itu masih terus dilakukan langkah-langkah sistematis dan terpadu, agar hotspot dan dampak asap tidak terus meluas.

Pemadaman tidak hanya dilakukan di darat, tapi juga melalui udara dengan melibatkan sekitar 46 unit helikopter waterboombing dan pesawat untuk melakukan modifikasi cuaca. Hingga awal September 2019 telah dilakukan lebih dari 66.349 kali WB dengan air yang dijatuhkan lebih dari 239,6 juta liter di daerah yang sulit dijangkau oleh tim darat.

Dari sisi regulasi, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11/2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan), Inpres (Instruksi Presiden) 8/2018 tentang moratorium izin, Peraturan Pemerintah (PP) 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor: 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, hingga pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).

KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan penting seperti Peraturan Menteri LHK Nomor 32/2016 tentang Pengendalian Karhutla, membenahi tata kelola gambut dengan baik dan berkelanjutan melalui pengawasan izin, penanganan dini melalui status kesiagaan dan darurat karhutla, serta berbagai kebijakan teknis lainnya.

Tata kelola gambut secara ketat dan menyeluruh yang dilakukan pemerintah Indonesia, oleh United Nations Environment Programme (UNEP) atau program Lingkungan PBB, menjadi contoh terbaik bagi seluruh negara di dunia yang memiliki persoalan serupa.

Indonesia kini memiliki International Tropical Peatland Centre atau Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC). Dengan ini Indonesia menjadi rujukan informasi dan pusat pengetahuan berbagai negara dalam tata kelola gambut.

Melalui pengendalian Karhutla, tata kelola ekosistem gambut, moratorium izin, dan berbagai langkah sistematis lainnya, Indonesia dapat menurunkan laju deforestasi dibandingkan periode sebelumnya.

Segeralah Yeo dan Siti bertemu. Tak perlu perang kata-kata, karena yang diperlukan rakyat kedua negara yang terdampak bencana asap adalah bagaimana asap segera dan cepat dihalau, dan kehidupan berjalan seperti semula. Hemat kata-kata, temukan solusi segera !

 

Baca Juga : Asap Menyergap Udara Pengap Petinggi Bersilang Cakap

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 277
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 139
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya