Bersatu Itu Indah

| dilihat 1601

Bang Sem

SALAH satu hal paling menyebalkan dalam dinamika politik sejak Oktober 2014 lalu, adalah munculnya gagasan-gagasan sakit sebagai ekspresi ketidak-mampuan politisi – bahkan yang senior sekalipun – menggunakan cara-cara konstitusional menyelesaikan perbedaan sikap dan pandangan. Yang paling menonjol dan membuat kita sebal adalah gagasan tentang DPR RI tandingan, Muktamar PPP tandingan, dan Munas IX Golkar tandingan.

Dari balik semua gagasan sakit itu, saya melihat, betapa sebagian besar politisi kita memang sibuk berkutat hanya berfikir soal kuasa dan kekuasaan. Semua itu berlangsung ketika rakyat sedang terhimpit dengan berbagai-bagai hal. Mulai dari tekanan ekonomi yang ditimbulkan oleh aneka kebijakan yang tidak bijak dari pemerintah sampai tekanan sosial berupa kebingungan masyarakat ketika presumsi: ganti pemerintah ganti kebijakan, benar adanya.

Kita tak pernah bisa belajar mencari jalan dan menemukan cara mengatasi friksi dan konflik yang pada umumnya dilatari oleh kepentingan-kepentingan sesaat. Kita tak cukup pandai memahami hakekat kalah dan menang dalam dimensi yang lebih luas. Terutama, karena terlampau sibuk bermain-main dengan fantasi dan fatamorgana politik. Akhirnya yang terjadi adalah menempatkan kompetisi melulu sebagai persaingan untuk saling mengalahkan, dan bukan saling mencapai hakekat menang yang sejati. Yaitu menangnya gagasan-gagasan positif kebangsaan dan kenegaraan dalam skala waktu yang jauh ke masa depan.

Tanpa mencari yang apa yang salam dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, boleh dikatakan ada persoalan dalam mengelola minda (mindset). Hal ini terjadi ketika semua orang hanya berfikir menang dan tak pernah menyiapkan diri menerima dan memahami kalah atau kekalahan.

Tak semua orang harus menang dalam momen bersamaan, karena pada setiap kemenangan selalu ada kekalahan dan sebaliknya. Dalam konteks inilah fatsoen dan budaya politik menjadi sangat penting maknanya. Termasuk dalam berkompetisi merebut simpati rakyat.

Mungkin benar pandangan yang menyatakan, kuasa dan kekuasaan itu menyenangkan dan mengasyikkan. Tetapi, bukankah di balik kuasa dan kekuasaan yang mengasyikkan itu justru justru akan selalu terdapat hal-hal yang tak mengasyikkan.

Dalam konteks Partai Golkar, saya melihat Susilo Bambang Yudohoyono (SBY), Prabowo Subianto, Wiranto, dan Surya Paloh termasuk kader Golkar yang mempunyai cara untuk memahami hakekat menang dan kalah, ketika di dalam kekalahan dan kemenangan terdapat noktah yang mengontaminasi. SBY tidak melakukan aksi menggerakkan pendukungnya mendirikan MPR tandingan ketika kalah dalam pemilihan Wakil Presiden oleh Hamzah Haz. Prabowo Subianto – Wiranto dan Surya Paloh (siapapun dan bagaimanapun mereka) tidak berusaha membuat Partai Golkar tandingan, melainkan mendirikan Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai Nasdem untuk membuktikan dirinya memang pantas menang.

Boleh jadi, Prabowo – Wiranto – Surya Paloh sebelumnya tidak mempunyai pengalaman membuat tandingan-tandingan. Prabowo – Wiranto berasal dari TNI yang mempunyai fatsoen tersendiri. Surya Paloh juga berangkat dari FKPPI dan AMPI (Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) yang didalam Golkar bergerak mengalir saja. Agung Laksono berpengalaman membuat Kosgoro tandingan, dan Priyo Budi Santoso berpengalaman ‘mengambilalih’ MKGR. Kosgoro dan MKGR bersama SOKSI dan Front Pancasila terbilang ormas-ormas pendiri Sekber Golkar di masanya.

Lepas dari semua itu, saya memandang, inilah momentum paling strategis bagi Jokowi – JK untuk menunjukkan kepiawaiannya mengambil keputusan yang tepat dalam menempatkan PPP dan Partai Golkar paska pertikaian. Selain merujuk kepada putusan sidang pengadilan yang akan memutus keabsahan hasil muktamar dan munas yang dianggap paling sah (sesuai dengan ketentuan konstitusi masing – masing partai) adalah melepas diri dari campur tangan terlalu teknis ke dalam kedua partai itu.

Lepaskan diri dari kepentingan siapa akan mendukung apa dari masing – masing pihak yang bertikai. Karena yang paling utama adalah: pemerintah hanya mengakui hasil muktamar dan munas yang sungguh dilaksanakan berdasarkan apa yang tersurat di dalam konstitusi mereka. Selebihnya, memberi nasihat kepada para pihak yang bertikai: bersatu itu lebih indah dan bercerai berai. Ingatkan juga pada mereka, tugas utama mereka bukanlah memberi contoh buruk bagaimana berpartai, melainkan bagaimana menempatkan partai sebagai institusi pendidikan politik bagi rakyat.

Nasihat lain? Mereka akan tambah terpuruk pada 2019 dengan cara yang mereka lakukan seperti ini. Indonesia tak perlu tanding-tandingan di dalam kandang sendiri. Indonesia wajib bertanding dan menang di jagad dunia.. ! Bersatu itu indah bagi mereka yang cerdas dan berbudaya!|          

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 529
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1623
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1401
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 748
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 902
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 857
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya