Prostitusi Online

Kekerasan Mengintai Mereka

| dilihat 3136

AKARPADINEWS.COM | "Nerakaku bukan urusanmu. Apalagi surga belum tentu jadi tempatmu." Kalimat itu di-posting Deudeuh Alfi Syahrin, 26 tahun, di akun twitternya, @tataa_chubby. Lewat kalimat itu, Deudeuh nampaknya mengekspresikan ketidaksukaannya kepada seseorang yang mengingatkan akan dosa akibat perbuatannya.

Namun, Deudeuh keukeuh.  Wanita berparas cantik itu memilih bebas meniti perjalanan hidupnya. Namun, tak dinyana, beberapa hari berikutnya, tepatnya Jumat, 10 April 2015, malang menimpanya. Janda beranak satu itu dibunuh dengan sadis oleh Muhammad Prio Santoso, 24 tahun, teman kencannya. Deudeuh diketahui berprofesi sebagai pekerja komersil (PSK) yang menggaet lelaki belang via online.

Prio, lelaki beranak satu dengan profesi sebagai guru bimbingan belajar itu tega membunuh Deudeuh di kost-annya, di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, hanya karena persoalan sepele. Saat berkencan, tiba-tiba Prio tak kuasa menahan amarah lantaran Deudeuh tak suka dengan aroma tak sedap tubuhnya. Lelaki itu mencekik leher Deudeuh dengan kabel. Lalu, menyumpal mulut korban dengan kaus kaki. Hingga akhirnya, nyawa Deudeuh meregang akibat ulah kejam Prio.

Peristiwa pembunuhan terhadap Deudeuh semakin menyakinkan jika posisi pekerja seks komersil (PSK) rentan kekerasan, bahkan berakhir dengan kematian. Bukan kali pertama kekerasan yang berakhir kematian dialami para PSK. Pada 17 Mei 1912, Fientje de Feniks, seorang PSK yang kerap melayani syahwat para pembesar dan orang kaya, tewas di  usia belum mencapai 20 tahun. Pelakunya Gemser Brinkman, seorang pejabat. Akhirnya Brinkman bunuh diri di dalam sel. Peristiwa yang menggemparkan ini pernah ditulis wartawan Senior Rosihan Anwar.

Selain rentan dianiaya, PSK juga sering menuai stigma negatif dari masyarakat. Mereka dianggap sampah masyarakat, wanita tercela, penuh dosa. Namun, bagi kalangan seniman, kisah perempuan yang terpaksa menjajakan tubuhnya ke lelaki hidung belang itu sering menjadi inspirasi karya-karya sastra atau karya seni lainnya. Kisah soal Fientje pernah ditulis dalam Novel karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Rumah kaca.

Namun, Pram mengganti nama Fientje de Feniks menjadi Rientje de Roo. Penyair WS. Rendra juga mengangkat derajat para pelacur dalam puisinya, Bersatulah Pelacur-Pelacur Ibu Kota. Sedangkan di dunia sastra internasional, Nawal El Saadawi asal Mesir menulis novel Women at Point Zero yang dialih bahasakan oleh Amir Sutaarga menjadi Perempuan di Titik Nol.

Stigma masyarakat tidak sepenuhnya benar. Perempuan-perempuan malang itu terpaksa membiarkan keindahan tubuhnya dirudakpaksa lelaki hidung belakang lantaran beratnya menjalani hidup akibat ketimpangan struktural. Kemiskinan dan kebodohan yang menggiring mereka terjebak dalam gaya hidup glamour, menyebabkan mereka menjadi liar. Kegagalan membangun rumah tangga juga sering menjadi mereka melakoni profesi yang dianggap masyarakat menyimpang.

Sebenarnya, batin mereka memberontak. Meski laku mereka liar, mereka tentu ingat akan dosa. Seperti mengutip pendapat Socrates, “Setiap orang tentu memiliki sesuatu yang diyakininya sebagai Tuhannya, bahkan seorang ateis pun pasti menganut suatu kepercayaan yang dianggapnya sebagai kekuatan yang Maha bijak dan baik.”

Mereka juga tak mau terus terhina masyarakat. Mereka tak ingin hidup teralenasi. Mereka ingin hidup wajar layakanya perempuan-perempuan umumnya. Namun, mereka juga membutuhkan uang untuk biaya hidup, termasuk untuk membesarkan anak-anaknya. Masyarakat umumnya memandang mereka sebagai manusia penuh dosa dan penyakit masyarakat, tanpa memahami perjuangan hidup yang dilalui mereka. PSK juga manusia, mereka punya hati, bahkan mungkin bisa lebih baik dari pada orang yang mencemoohnya.

Dunia prostitusi yang mereka lakoni adalah realitas sosial, yang tumbuh dan berkembang seiring perkembangan peradaban manusia. Don Kullick, Antropolog dari Universitas Chicago menjelaskan, prostitusi sudah ada sejak awal peradaban manusia. Namun, belum diketahui sejak kapan prostitusi itu pertama kali ada. Dikutip dari naskah Al Kitab yang menyebutkan, tentara Israel mempunyai banyak istri dan selir. Bahkan, Raja Solomon dikenal punya 700 isteri dan 3.000 selir. Pada masa Romawi Kuno pun transaksi seks sudah dilakukan dengan koin. 

Namun, penyebutan prostitusi sebagai profesi, baru muncul di akhir tahun 1800-1900-an. William Josephus Robinson dalam bukunya berjudul: The Oldest Profession in the World: Prostitution yang terbit tahun 1929, menjelaskan jika saat itu banyak kalangan yang tidak setuju dengan penghapusan prostitusi. Bahkan, ada anggapan percuma prostitusi dibasmi untuk menjauhkan kebiasaan seks manusia karena menyangkut pemenuhan kebutuhan biologis.

Bila melihat sejarahnya, status penjaja seks sempat berada di status terhormat. Pada masa Babilonia, Mesir, Yunani dan Romawi, prostitusi dikaitkan dengan moral agama, dengan sebutan “Pelacur Kuil” (Temple Prostitutes), di mana penghasilan yang mereka dapatkan diserahkan pada pendeta untuk membantu pembangunan kuil sehingga mendapatkan berkah.

Ada pula istilah pelacur terhormat yang dilakoni perempuan-perempuan terdidik dan menjadikan profesi pelacur sebagai jalan terbaik meraih kekayaan dan gengsi sosial  yang dikuasai kaum laki-laki. Masyarakat Yunani Kuno menjulukinya Hetaerae, salah satunya yang paling dikenal adalah sosok perempuan bernama Thais dari Athena yang dinikahi Alexander Agung hingga Ptolomeus, Raja Mesir.

Prostitusi di masa Yunani Kuno tidak dianggap tabu sehingga tidak ada larangan beroperasi. Di Athena, Solon, seorang anggota parlemen legendaris, mendirikan rumah-rumah pelacuran milik negara dengan harga yang diatur. Dalam ranah kekuasaan di era kerajaan, seksualitas menjelma sebagai simbol legitimasi atas keperkasaan laki-laki. Karenanya, raja-raja memiliki banyak isteri cantik dan selir (garwa ampeyan).

Selir adalah seorang wanita yang telah diikat oleh ikatan kekeluargaan oleh raja, tetapi tidak berstatus istri. Statusnya di bawah isteri raja. Tugasnya membuat raja selalu terhibur, senang. Karenanya, selir juga disebut klangenan (kesenangan). Dalam konteks ini, selir dipahami sebagai objek eksploitasi demi kepuasaan syahwat para raja.

Dalam perkembangan kehidupan manusia, seks menjadi ranah privat tatkala nilai-nilai agama mendominasi struktur kekuasaan. Pemerintahan Ratu Victoria di era abad kegelapan menuju masa Renaissance pertengahan Eropa (abad ke-17) dan dominasi kekuasaan agama, mengharamkan ritual berbau seks. Seks pun dilarang untuk dibicarakan, dilihat, dan dipelajari. Bagi Foucault, situasi manusia pada saat itu sangat tertindas. Seks sebagai kebutuhan dibatasi dan diatur oleh kekuasaan agar terhindar dari dosa. Foucault pun menuding jika era Victorian sebagai masa kemunafikan yang menindas peradaban.

Praktik prostitusi di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak jaman VOC menguasai Batavia di abad ke-17. Para pelacur disebut cabo. Lokalisasi pertama bernama Macao Po dekat Stasiun Kota. Sebagai lokalisasi kelas atas, pengunjungnya adalah pejabat VOC yang memang doyan main perempuan dan korupsi. Untuk lokalisasi kelas bawah, ada di kawasan Glodok Gang Mangga. Selanjutnya berkembang ke lokalisasi Kaligot di Mangga Besar. Planet, di kawasan Senen Jakarta Pusat sampai Gunung Sahari.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin kemudian menggusur tempat pelacuran tersebut. Lalu, dilokalisir di kawasan lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Pada periode 1970-1980-an, luas Kramat Tunggak mencapai 12 hektar dengan jumlah PSK mencapai 2.000 orang. Tahun 1999, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso membubarkan Kramat Tunggak dan mengubah lokalisasi ini menjadi Islamic Center.

Dunia prostitusi terus berevolusi seiring berkembangnya teknologi dan modernitas. Kini, telah muncul prostitusi online. Prostitusi dengan menggunakan media jejaring sosial seperti twitter, facebook, website dan  media digital lainnya semakin dikenal di masyarakat.

Deudeuh misalnya, memanfaatkan media sosial itu untuk mengaet pelanggannya. Deudeuh bersama perempuan-perempuan lain yang mempertahankan hidup dengan cara-cara yang dianggap tercela oleh masyarakat itu makin menjamur sejak ditutupnya berbagai lokalisasi di Jakarta. Prostitusi via online menjadi media efektif, lebih murah, dan tanpa mediator seperti germo. Namun, prostitusi online bisa menuai resiko besar, karena tanpa perlindungan. Deudeuh menjadi salah satu korbannya.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 231
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 331
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Energi & Tambang