AMIN versus Eidel Machiavellian

| dilihat 637

Nota Bang Sem

Praktik demokrasi di negara-negara yang sedang bertumbuh, khasnya setiap kali menyelenggarakan momentum kontestasi dan kompetisi politik (pemilihan umum), nyaris tak pernah lepas dari aksi kaum Machiavellian -- yang selalu dijuluki kepada mereka -- yang menghalalkan segala cara untuk menang. Lantas, menang dan kalah menjadi tujuan mereka. Bukan sebagai capaian antara untuk mewujudkan tujuan.  

Di situ laku licik dan curang menjadi bagian tak terpisahkan dari taktik dan muslihat politik. Celakanya, yang ikut bertarung dalam proses Pemilihan Umum tak semuanya mempunyai kesungguhan untuk memperjuangkan tujuan: memajukan bangsa - negara, dan membahagiakan rakyat.

Kaum Machiavellian selalu merujuk pada apa yang diungkap Niccolò Machiavelli pada karyanya, "The Prince," yang terbit lebih lima abad silam, ihwal perspektif politik yang amoral dan tidak etis. Gambaran watak politisi yang mengemuka dalam pemikiran Machiavelli tahun 1513 yang terus menyimpan teka teki, dan bagi kaum Machiavellian dianggap sebagai rujukan tekstual politik yang sangat berpengaruh.

Ketika berkunjung ke daerah tempat awal Machiavelli bertumbuh -- antara Modena dan Maranello, Italia -- beberapa tahun lalu, sejumlah kolega mengingatkan saya ihwal realitas Machiavelli sebagai pegawai negeri di negara kota Florence, sampai Republik digulingkan dan Medici merebut kekuasaan. Machiavelli, lantas diadili karena pengkhianatan, dipenjarakan, diasingkan dan dilarang terlibat dalam kehidupan publik.

Mereka juga mengingatkan ihwal pertanyaan asasi para intelektual sebelum Machiavelli, yakni tentang bagaimana seharusnya para penguasa memerintah. Machiavelli sendiri mesti dilihat sebagai seorang pemikir yang mampu menafsirkan bukti dan memberi makna baru pada pertanyaan utama " pemerintahan seperti apa yang harus dibangun dan dikembangkan?

"The Prince" memberikan gambaran penyimpangan moral dan etik, dan Machiavelli, sesungguhnya mengungkapkan kebenaran tentang cara-cara politik korup, sehingga warga negara lebih mengetahui siapa pemimpin mereka sebenarnya. Karenanya, ketika disalah-tafsir dalam praktik politik yang kotor oleh para politisi amoral, "The Prince" justru menjadi titik balik dalam filsafat politik.

Titik Singgung Psikopati Impulsif

Sebelum masa Machiavelli tandang, politik selalu terkait dengan etika, secara teori dan praktik. Machiavelli menerobos situasi demikian dan menjadi pemikir politik pertama yang dengan tegas memisahkan politik dari etika. Ia memberikan otonomi tertentu pada politik dalam keseluruhan konteks tata negara. Ia juga meletakkan dasar-dasar bagi studi tentang ekonomi politik modern. Ia berbeda dengan Rousseau, yang memicu pencerahan dan menjadi inspirasi Revolusi Perancis. Tak pula seperti Karl Marx, yang mempengaruhi transformasi sosial dan politik di abad ke-20, dan dilahap oleh banyak pemimpin di berbagai negara, kemudian.

"The Prince" boleh dikata sebagai buah pikir yang menghadapkan Machiavelli dalam situasi diri yang mendua. Tuduhan-tuduhannya pada dan bahkan nasihat-nasihat-nya kepada penguasa, bertentangan dengan doktrin yang dikemukakannya: tujuan menghalalkan segala cara yang dilakukan untuk mengamankan dan mengkonsolidasikan kekuasaan, pasti tidak akan pernah benar-benar berkembang.

Kini, ketika di abad XXI dan di negara berdasarkan Pancasila, bila masih ada politisi yang menggunakan habitus Machiavellian, menghalalkan cara untuk memenangkan kekuasaan, berarti kita sedang mengalami ambivalensia. Hidup di abad XXI namun pemikiran - sikap - perilaku tertinggal di abad XVI. Keterbelahan diri yang mengerikan karena berada pada titik singgung psikopati impulsif dan agresif, manipulatif, dan narsisme.

Titik singgung pragmatis politik yang diwarnai oleh sikap dan aksi politik yang mencerminkan kelainan neuropsikiatri, yang ditandai antara lain dengan kurangnya respons emosional, kurangnya empati, dan kontrol perilaku yang buruk, yang biasanya mengakibatkan penyimpangan antisosial dan perilaku jahat (bahkan kriminal) yang terus-menerus.

Melihat berbagai acara temu bual politik di layar televisi ihwal situasi dan kondisi mutakhir politik jelang Pemilihan Presiden / Wakil Presiden (Pilpres) 2024, watak-watak Machiavellian tampak dengan jelas sosoknya dan mewakili siapa. Antara lain, tercermin dalam sikap sinis dan manipulatif secara interpersonal kala berhujjah (berargumentasi) yang cenderung hendak mendominasi, tidak berperasaan, dan 'menang-menangan' dalam ajang 'sentak-sengor' - adu omong (karena tak paham tentang debat dan sangat sedikit program debat di televisi). Terutama karena referensinya kosong, alias 'otak dikit' meminjam istilah Geisz Chalifah. Saya menyebut mereka Eidel Machiavellian.

Kaum Eidel Machiavellian menampakkan sosoknya dalam berbagai ajang 'sentak sengor,' baik di dunia nyata maupun alam maya, tanpa diminta. Seringkali menampakkan diri sebagai 'penguasa' yang aktif memantau dan mengantisipasi pergerakan orang lain dalam permainan kompetitif, seperti diisyaratkan Esperger dan Bereczkei (2012), dan berusaha menciptakan citra diri dan kelompoknya seolah-olah selangkah lebih maju dari yang lain, seperti diisyaratkan Czibor dan Bereczkei (2012).

Code of Conduct AMIN

Bereczkei (2013) mengemukakan, para Machiavellian menampakkan perbedaan struktural dalam penalaran dan memiliki ciri neurologis seorang manipulator strategis. Mereka senantiasa cenderung berperilaku sesuai dengan situasi mereka. Termasuk berperilaku kasar dan agresif, sekaligus tak konsisten dalam melakukan hubungan sosial.

Terlepas dari sifat tidak berperasaan mereka yang tumpang tindih, individu-indivisu Machiavellian kerap berperilaku macam undur-undur. Merasa melangkah maju, ketika sedang melangkah mundur. Hal tersebut juga tercermin dalam sikap 'pagi tèmpè sore delè,' plintat - plintut. Hari ini menggambarkan pencapaian luyar biasa atas gagasan-gagasan yang diimplementasikannya, esok menggungkapkan keadaan sebenar yang kebalikannya. Lantas menganggap perilaku demikian sebagai sesuatu yang lumrah.

Dalam konteks ini, survei-survei politik yang banyak dilakukan, mulai dari soal persepsi khalayak sampai elektabilitas kontestan, mesti dilihat dalam konteks demikian. Antara lain dengan perilaku penyelenggara survei yang 'maju tak gentar membela yang bayar.' Berpegang pada berbagai metodologi yang sah secara teoritik, namun digerakkan dengan formula yang mengacu pada pembenaran. Bukan untuk mencapai kebenaran faktual atau kesahihan fakta yang sebenarnya.

Beranjak dari pandangan ini, kita melihat, pasangan AMIN (Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar) dengan berbagai gagasan segar, visioner, dan berorientasi pada perubahan dramatik kehidupan rakyat (mencapai kebahagiaan rakyat karena keadilan dan pemerataan) sesungguhnya sedang berhadapan dengan kaum Eidel Machiavellian. Baik berafiliasi atau tidak berafiliasi dengan pasangan Capres-Cawapres lain.

Gagasan AMIN dan cara komunikasi yang dipergunakannya untuk seluruh strata dan khalayak, dilihat dengan mata kepala langsung (berbasis simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta - tanpa kecuali respon rakyat di berbagai daerah dan peristiwa) memberikan gambaran 'daya luwih' dalam kontestasi dan kompetisi.

Meski dalam bilangan jumlah massa dan kerumunan bisa dicapai oleh gerakan pengerahan massa, khas untuk kepentingan visual sebagai penanda keseimbangan, namun substansi, kualitas dukungan dan respon batin khalayak terhadap pasangan AMIN tak bisa terimbangi. Khasnya, karena ada ghirah dan gairah khalayak untuk menyerap dan mengaktualisasi gagasan.

Terkait dengan hal ini, pasangan AMIN menjadi antitesa atas kaum Eidel Machiavellian, yang masih sibuk mengemas dan menemukan metode dan model-model kemasan layak khalayak. Terutama, karena pasangan AMIN dapat dikatakan, membalik budaya politik berbasis moral. Apalagi pijakan utamanya adalah dimensi kebangsaan berbasis triangle of enlightment:  global nationalism, universe poitive value, dan glory of humanity. Inilah yang sesungguhnya yang sangat menggentarkan. Karenanya, kala pasangan AMIN melalui Anies Baswedan membawa pesan khalayak tentang jaminan netralitas aparatus negara dan pemerintahan, nilainya berbeda dengan yang lain. Karena netralitas yang disuarakan bukan sekadar netralitas aksentuasi. Tinggal lagi timnas AMIN mesti merumuskan code of conduct dan code of ethic yang sesuai dengan prinsip dasar 'kemuliaan bangsa dan daulat rakyat ditinggikan seranting, kemenangan Pilpres 2024 didahulukan selangkah.'  |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 524
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1616
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1397
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Energi & Tambang