Bijak Menghadapi Islamphobia

| dilihat 1699

AKARPADINEWS.COM | PAMELA Geller, penggagas kontes kartun Nabi Muhammad SAW di Garland, Texas, Amerika Serikat (AS), makin gencar melancarkan serangan terhadap Islam. Setelah peristiwa penembakan di Garland yang menewaskan dua pelaku penyerangan, dengan dalih memperjuangkan kebebasan berekspresi, Presiden American Freedom Defense Initiative (AFDI) itu memprovokasi warga AS agar membenci Islam.  

Saat diwawancarai CNN, Senin (4/5), Geller mengatakan, polisi telah memperingatkannya akan bahaya jika mengadakan acara yang sensitif, menyinggung perasaan umat Islam itu. Namun, dia berdalih, tidak takut dengan ancaman berbahaya, demi memperjuangkan kebebasan berbicara dan berekspresi. “Kebebasan berbicara tertuang pada Amandemen pertama (Bill of Right atau Deklarasi Hak-Hak) kita. Kebebasan itu adalah nilai utama dari negara ini (Amerika Serikat),” ujarnya pada wawancara CNN.

Namun, dalam wawancara itu, Alisyn Camerota, jurnalis CNN, tidak suka dengan jawaban Geller yang kerap menuding Islam sebagai agama barbar yang menyerukan kekerasan. Camerota pun terlibat perdebatan dengan Geller. Camerota mempermasalahkan pernyataan salah satu pembicara pada acara kontes kartun Nabi Muhammad SAW, yakni Geert Wilders, yang menyatakan umat Islam tidak memiliki rasa humor (atas kartun).

Camerota juga tidak sepakat dengan pernyataan Wilder yang menganggap kejahatan identik dengan Islam. “Pembicara anda mengatakan hal itu, berarti itu menyamaratakan seluruh umat Islam seperti itu. Ada tiga miliar penduduk dunia, termasuk Amerika, yang menganut Islam dan pernyataan itu tidak bisa digeneralisir,” ujarnya Camerota.

Selain itu, Camerota mengatakan bila Geller menganggap kebebasan berpendapat dan berekspresi dilarang Islam, namun ada pemimpin muslim di Amerika yang membiarkan Geller menyatakan pendapat, meski menyudutkan Islam. “Anda (Geller) berkata ini (penembakan Garland) persoalan kebebasan berpendapat, namun nyatanya seorang muslim, yakni Linda Sasour, memperbolehkan anda berpendapat meski itu menyudutkan agamanya,” debatnya.

Geller terus berkilah dalam debat itu. Sementara Camerota terus mempertanyakan tujuan Geller dan organisasinya mengadakan acara yang menyinggung umat Islam. Hasil dari debat itu menunjukkan, Geller dan organisasinya menyimpan motif memusuhi Islam. Dengan menyamaratakan semua penganut Islam sebagai sosok yang tidak intelek dan barbar.

Sikap Camerota harus diacungi jempol karena secara objektif mencermati latarbelakang insiden penembakan di Garland. Dia juga tidak suka dengan motif terselubung Geller dan organisasinya yang menjelek-jelekan Islam. Tudingan Geller yang menyudutkan Islam itu juga dapat menciptakan ketakutan berlebihan warga AS terhadap Islam (Islamphobia).

Peristiwa penembakan Garland dimanfaatkan Geller untuk menyerang seluruh umat Islam sebagai penganut agama kekerasan. Padahal, Islam sejatinya toleran dan menentang kekerasan. Sikap Geller itu mengundang banyak tanggapan di kalangan warga AS sendiri. Salah satunya, Haroon Moghul, anggota Institute for Social Policy and Understanding (ISPU). Moghul menuliskan esai di situs CNN yang bertajuk Don’t be Fooled by Pamela Geller (Jangan ditipu oleh Pamela Geller) yang menanggapi berbagai pernyataan Geller yang menunjukkan sikap anti Islam. Dalam tulisannya, Moghul berpendapat, sikap Geller yang seakan mengklaim membela nilai-nilai Amerika Serikat itu justru merusak tatanan nilai tersebut.

Di Amerika Serikat, umat Islam kerap dikaitkan dengan terorisme. Apalagi, setelah terjadinya serangan teroris yang menghancurkan Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York, 11 September 2001. Gedung yang menjadi simbol kemegahan Amerika Serikat itu itu dihancurkan oleh pesawat American Airline 11 dan United Airline 175 yang dibajak dua orang teroris dari kelompok Islam radikal Al Qaeda.

Tragedi 11 September 2001 itu menyita perhatian dunia. Serangan Al Qaeda itu begitu membekas dalam memori kolektif warga AS karena memakan korban tewas hingga mencapai 2996 orang dan kerusakan infrastruktur hingga hingga mencapai US$10 miliar. Serangan Al Qaeda itu pula yang menimbulkan Islamphobia pada warga AS dan mengidentikan Islam sebagai agama teroris.

Persepsi negatif itu yang merugikan warga muslim AS. Mereka kerap mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-harinya. Moghul menggambarkan dalam tulisannya, seorang muslim kerap dicap sebagai teroris oleh warga AS kebanyakan. Keadaan itu kemudian membuat para muslim AS berkerja keras untuk melepaskan stigma itu dengan berbagai kegiatan kemanusiaan di masjid-masjid mereka.

Usaha para muslim AS mendapat cobaan kembali saat Negara Islam Irak dan Suriah atau Islamic State Irak Suriah (ISIS) muncul ke permukaan untuk mendeklarasikan khilafahnya pada Juni tahun lalu. ISIS menjadi perhatian publik dunia ketika para militan radikal itu memenggal beberapa tahanannya yang merupakan warga asing. Salah satunya, jurnalis dan relawan kemanusiaan asal Jepang, Kenji Goto. Jurnalis itu dikenal karena berbagai tulisannya yang mengedepankan sisi kemanusiaan saat meliput peristwa konflik di sebuah negara.

Goto memang kerap terjun ke daerah berkonflik, seperti Pantai Gading. Kala itu, dirinya meliput penambangan berlian ilegal dengan mempekerjakan anak-anak sebagai tentara. Dia juga banyak menulis tentang konflik di Rwanda. Alumnus Universitas Hosei itu tertangkap pada Oktober 2014 saat tengah memasuki Suriah. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Jepang untuk menyelamatkan jurnalis karismatik tersebut. Namun, karena Jepang mengabulkan tuntutan ISIS, Goto pun dieksekusi. Pemenggalan dirinya membuat Jepang berduka. Jepang pun menarik diri dari konflik di Suriah.

Islam di dunia pun tersudutkan lantaran kebrutalan ISIS. Sebuah laporan yang dirilis Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di markas PBB, Jenewa, Swiss, 19 Maret lalu menyebut, ISIS diduga akan terus melancarkan serangan setelah menguasai sebagian wilayah Suriah bagian Timur dan Irak bagian utara dan barat. Taktik brutal dan biadab dilakukan. ISIS telah melakukan pembunuhan massal, penculikan terhadap anggota kelompok atau agama minoritas serta pemenggalan kepala seseorang yang dianggap kafir. Kebiadaban itu mereka siarkan lewat dunia maya untuk menunjukan eksistensinya, sekaligus menebar teror kepada masyarakat global.

Dan, insiden penyerangan di Garland tidak terlepas dari kendali ISIS. Kedua pelaku penyerangan, Elton Simpson dan Nadir Soofi, diketahui bagian dari ISIS. Hal itu diketahui berdasarkan pernyataan ISIS melalui siaran radionya yang mengakui, kedua penyerang itu sebagai pasukan Al Khilafa yang mereka gerakan. Dilansir dari CNN, Selasa (5/5), radio ISIS menyatakan, kedua orang itu merupakan bagian dari mereka dan akan ada serangan balasan yang lebih besar.

Sayangnya, rangkaian peristiwa itu kerap dimunculkan oleh Geller dan kelompok anti Islam di Amerika dengan menebar kebencian terhadap Islam. Padahal, bila menilai tujuan pelaksanaan, Muhammad Art Exhibit and Contest yang digagas Geller dan AFDI, maka ada tujuan terselubung Geller dan organisasinya. Dari wawancara yang dilakukan Camerota, disimpulkan jika bukan kebebasan berekspresilah yang dituju Geller. Namun, lebih pada mendeskriditkan Islam secara umum.

Karenanya, penting bagi warga AS dan warga dunia umumnya, untuk menilai secara proporsional setiap terjadi kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Dan, perlu juga dilihat latarbelakang serangan tersebut. Insiden di Garland itu tidak terlepas dari kontes kartun Nabi Muhammad SAW yang menistakan Islam. Bagi umat Islam, sosok Nabi Muhammad SAW dilarang dilukiskan dalam bentuk apapun. Dengan tujuan agar sosok Rasululllah tidak menjadi bahan sesembahan dan menjaga kemurnian ajaran Islam. Namun, bagi media di Barat, dengan dalih kebebesan berekspresi, Nabi Muhammad kerap dijadikan bahan karikatur--yang menistakan junjungan umat Islam tersebut.

Sebelum tragedi Garland, Geller memang pernah menebar pesan kebencian melalui pesan-pesan anti Islam di penjuru New York, Washington DC, dan San Fransisco. Gerakan Geller ini telah dimulainya sejak tahun 2012. Di tahun 2013, Geller menyewa 39 lahan iklan di kereta bawah tanah New York yang ditujukan untuk mengkampanyekan jika Islam adalah agama teroris.

Perempuan berusia 57 tahun itu kembali mengulanginya di tahun 2014 dengan menggelontorkan US$100 ribu untuk iklan yang menyudutkan Islam. Kala itu, Islam diidentikan dengan kekejaman Adolf Hitler, pemimpin Nazi. Untungnya, kampanye yang membenci Islam itu dilarang oleh otoritas setempat. Pada April 2015, Geller dilarang memasang iklan yang menebar pesan kebencian pada Islam.

Kebencian Geller pada Islam yang diekspresikan dengan berbagai caranya, menunjukkan dirinya sudah melukai nilai-nilai demokrasi. Cara-cara menyampaikan kebebasan berekspresi yang dilakukan Geller justru mematik kekerasan dan kebencian. Dia mengatasnamakan kebebasan dengan tujuan destruktif.

Namun, untuk menghadapi kekerasan verbal yang gencar dilakukan Geller, tidak perlu dengan cara-cara kekerasan. Dalih Geller yang menistakan Islam harus dibalas dengan argumentasi konstruktif. Seperti yang dilakukan Mohgul, yang melawan manuver Geller dengan menebar opini lewat tulisan di media agar warga AS tidak terprovokasi oleh tipu daya Geller.

Mohgul dalam tulisannya menilai demokrasi memerlukan kebebasan berpendapat. Namun, harus disertai tanggungjawab individu atas kebebasan melontarkan pendapatnya. Menuduh Islam secara membabi buta, dinilai Mohgul, sebagai ekspresi kebebasan yang tidak bertanggungjawab. Dalam menghadapi gerakan Islamphobia, umat Islam harus lebih bijak. Serangan yang menyudutkan Islam tidak perlu dibalas dengan tindakan kekerasan. Umat Islam harus menunjukkan jika Islam mengajarkan kasih sayang dan mencintai kedamaian. Dengan demikian, umat Islam tak lagi dicap sebagai pemuja kekerasan.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 755
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 910
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 865
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Energi & Tambang