Pelajari Ulang Hakekat PERsatuan dan KEsatuan

Ektopika Demokrasi

| dilihat 2272

Bang Sem

ANDREW Horne -- biolog dari pusat reproduksi biologi Edinburgh University – melansir hasil penelitiannya ihwal kotitin pada asap rokok, yang dapat meningkatkan protein Prokr1 di tuba fallopi. Protein inilah yang menyebabkan kehamilan ektopik, alias kehamilan di luar kandungan. Tentu sangat berbahaya, karena menyebabkan pecahnya tuba fallopi, perdarahan dalam, dan gangguan kesuburan.

Mencermati aneka pemberitaan, risik orang bekombur (menggumamkan luapan hati yang tak jelas), dan racauan rakyat melalui sosial media, gebalau jahat segelintir orang di Tolikara, sampai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ihwal program jaminan sosial nasional (jamsosnas), sekelebat saya membayangkan ihwal kehamilan ektopik itu.

Apalagi ketika pertumbuhan ekonomi mengalami kelambatan, dan nilai mata uang rupiah telah membuat kedaulatan monetasi bangsa ini kehilangan harkat dan martabat. Khasnya, karena kian menguatnya dominasi peran Tiongkok dan Singapura atas bangsa yang dibangga-banggakan di masa lalu sebagai bangsa yang besar ini.

Saya sungguh kuatir, bangsa ini akan mengalami ektopika demokrasi, akibat kotitin politik di gantangan fantasi kebebasan dan tata kelola penyelenggaraan negara yang hilang daya, karena tak lagi punya manthiq yang benar. Dan, para politisi serta penyelenggara negara tak lagi punya nalar politik, lantaran senang bermain akal-akalan politik. Celakanya, semua itu (juga) terjadi lantaran pers sedang berada dalam alunan gelombang ‘kemerdekaan palsu.’

Partai Politik Belum Menjalankan Fungsi Melakukan Pendidiikan Politik bagi Rakyat | bangsem @karpadinews

Para pemimpin media dan bahkan pemegang otoritas news room, sedang bermain-main dengan kebebasannya, dan secara sadar menghilangkan daya integritas dirinya, lantaran tunduk - patuh – menyerah kepada para pemilik modal yang menguasai industri pers, dengan beragam kepentingan politik dan ekonomi. Para pemilik modal dan penguasa media, itu hanya berfikir sederhana: untung rugi politik.

Akibatnya, kontrol media dalam keseluruhan konteks fungsi pers, bisa jadi akan membuat kondisi, rakyat bergerak memaknai demokrasi dengan caranya sendiri. Demokrasi di luar sistem dan keadaban yang dikehendaki. Terutama, karena konsolidasi demokrasi yang berlangsung selama ini gagal menghidupkan nalar politik yang tepat dan benar. Khasnya tentang hal-hal mendasar yang bersifat ideologis dan logis.

 Lihatlah bagaimana kacau balaunya nomenklatur yang dipergunakan oleh para petinggi negara, mulai dari penggunaan istilah tentang 4 Pilar Kebangsaan (Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, UUD 45, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia), padahal Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 merupakan dasar (fundamen) ideologi – konstitusi negara. Bukan pilar.

Simaklah bagaimana kacau balaunya kita memaknai esensi manthiq – logika bahasa dalam menggunakan imbuhan pada kosakata bahasa Indonesia.  Khasnya awalan Per pada Sila Ketiga Pancasila dan awalan Ke dalam konteks NKRI.

Karena basisnya adalah Bhinneka Tunggal Ika, maka Bung Karno menggunakan awal Per untuk sila ketiga dalam Pancasila, dan merupakan satu-satunya sila berawalan per. Empat sila lainnya menggunakan awalan Ke.

PETINGGI PARPOL DAN NEGARA MASIH MEMPERLAKUKAN RAKYAT SEPERTI BOCAH YANG TERHIBUR DI DALAM ODONG-ODONG | bangsem @karpadinews

Konsepsi Bhinneka Tunggal Ika mengharuskan kita menggunakan awalan Per pada sila ketiga: Persatuan Indonesia, yang menunjukkan fakta: Bung Karno dan para founding fathers bangsa ini sungguh berpijak di atas realitas pluralisme dan multikulturalisme kebangsaan. Hal ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip dan manifesto dasar declaration of human rights.

Dalam konteks PER-satuan itu, perbedaan dihargai dan kepentingan kolektif diutamakan, dalam konteks KE-satuan, kesamaan didahulukan dan diutamakan. Tapi, dalam konteks PER-satuan sebagai prinsip negara pluralis dan multikulkturalis, sempat membuat gusar dan risau ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Terutama ketika berkembang pemahaman tentang state archipelago type.

Negara PER-satuan Indonesia memang repot mengelolanya. Maka Seminar Angkatan Darat 1966, selain menegaskan hakekat Dwifungsi ABRI, juga menabalkan nomenklatur NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang merupakan aksentuasi dan pemikiran dasar tentang format Indonesia dan ke-Indonesia-an kita sebagai negara integralis. Dan Presiden Soeharto, kemudian menegaskan prinsip monoloyalitas di seluruh sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lantas, secara etimologi, ditawarkan padu-padan semu tentang: “Persatuan dan Kesatuan,” sebagai artikulasi keselarasan antara pluralisme – multikulturalisme dengan praktik integralisme – monokultualisme.

Sejak itu, kita terlena dalam ketidak-jelasan sikap dalam memanifestasikan hakekat Indonesia dan Keindonesiaan kita, antara pluralisme – multikulturalisme (PER-satuan Indonesia) dengan integralisame – monokulturalisme (KE-satuan Indonesia).

Di dalam ketidak-jelasan itulah, hampir seluruh komponen dan elemen bangsa berseru : NKRI HARGA MATI ! Artinya dimensi ke-Indonesia-an kita ada dalam format Indonesia sebagai negara integralitas (tidak lagi PER-satuan, melainkan KE-satuan).

Sebagai rakyat, kita setuju-setuju saja. Tapi, konsisten. Seluruh petinggi negeri, khasnya anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) harus mengambil langkah kongkret.

PEMIMPIN & PETINGGI PARTAI POLITIK PERLU BELAJAR ULANG TENTANG IMBUHAN DALAM LOGIKA BAHASA INDONESIA | bangsem @karpadinews

Pertama, tak lagi mengacu kepada Bhinneka Tunggal Ika yang mengartikulasikan pluralisme dan multikulturalisme : keberbagaian dalam persatuan, melainkan semboyan lain yang lebih pas dan cocok dengan konsepsi integralisme: kesatuan;

Kedua, segera ubah awalan PER menjadi awalan KE pada Sila Ketiga dalam senarai Pancasila, dari PER-satuan Indonesia menjadi KE-satuan Indonesia. Dengan demikian, seluruh Sila dalam Pancasila harus konsisten menggunakan awalan KE. Artinya secara ideologis politis, tidak berlaku lagi seluruh anasir yang terlahir dari hakekat penggunaan awalan PER pada sila ketiga, seperti: Otonomi daerah yang luas dan nyata, Desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, dengan demikian dalam praktik demokrasi perwakilan, cukup hanya dilakukan satu kali pemilihan umum sekali dalam lima tahun.

Ketiga, seluruh anggota DPR RI harus segera meninjau kembali Undang Undang Pemerintahan Daerah, Undang Undang Pemerintahan Desa, dan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah.

Tapi jangan kuatir, di negara serba boleh (kecuali dua :  memantik korek api di SPBU dan memakai sepatu ke dalam masjid), pandangan dan pemikiran dalam artikel ini, seluruhnya boleh diabaikan. Apalagi, rakyat sedang menggunakan sepenuh otak dan pikirannya menyelesaikan persoalan  ‘kampung tengah’ (perut) yang persoalannya belum mampu diatasi Presiden Jokowi, seluruh anggota kabinet, dan partai-partai pendukungnya.. |

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1200
Rumput Tetangga
Selanjutnya