Perjuangan Iqbal Masih

Hentikan Perburuhan Anak

| dilihat 1479

AKARPADINEWS.COM | KAUM buruh turun ke jalan. Tak henti mereka menuntut hak-haknya untuk hidup sejahtera. Tuntutan itu selalu menggema, apalagi tatkala tanggal 1 Mei. Momentum peringatan hari buruh sedunia (May Day) itu dimanfaatkan kaum buruh untuk menebar pesan-pesan bernada peringatan kepada pengusaha maupun pemerintah untuk memperhatikan hak-haknya.

May Day berawal dari Chicago, Amerika Serikat tahun 1886. Kala itu, sekitar 400 ribu buruh berdemonstrasi, diikuti dengan aksi pemogokan umum, pada 1 Mei 1886. Mereka menuntut pemangkasan jam kerja sehingga lebih manusiawi, dengan memberlakukan delapan jam kerja dalam sehari. Sebelumnya, buruh dipaksa untuk bekerja rata-rata selama 18-20 jam sehari. Aksi pemogokan besar-besaran itu berlangsung sampai 4 Mei 1886. Akibatnya, aktivitas produksi terhenti. Sekitar 7.000 pabrik terpaksa gulung tikar. Kerugian besar ditanggung pengusaha.

Perjuangan kaum buruh dalam meraih hak-haknya kala itu tak mudah. Darah dan air mata kerap mengalir di setiap aksinya. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, yang bermodal senjata. Tak sedikit nyawa mereka hilang akibat cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat dalam menghalau aksi buruh. Meletupnya kekerasan itu yang kemudian dikenal sebagai peristiwa haymarket, di mana sebelumnya, rentetan demonstrasi sudah dilakukan di setiap kota, untuk menuntut pengurangan jam kerja.

Akhirnya, dalam Kongres Sosialis sedunia yang berlangsung di Paris, Prancis, Juni 1889, diputuskan bila setiap tanggal 1 Mei diperingati Hari Buruh internasional. Peringatan itu disertai gerakan turun ke jalan secara serentak dan besar-besaran. Tradisi gerakan kaum buruh itu terus dilakukan hingga saat ini, termasuk dilakukan para buruh di Indonesia.

Seiring semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi para buruh, May Day tidak hanya menyuarakan tuntutan jam kerja yang lebih manusiawi. Namun, berkembang pada tuntutan kesejahteraan, penolakan sistem kerja kontrak (outsourcing), upah yang layak, jaminan kesehatan, jaminan pesangon, dan sebagainya. Tuntutan itu kadang membuat repot pengusaha. Dengan dalih biaya operasional yang membengkak--jika tuntutan kaum buruh itu dipenuhi, pengusaha seringkali mengancam akan menghentikan aktivitas produksi yang kemudian akan berimbas terhadap nasib buruh.

Sementara pertemuan tripatrit antara pengusaha, pemerintah, dan buruh, yang membahas isu-isu seputar kesejahteraan para buruh, seringkali menghadapi jalan buntu. Pemerintah seakan tidak memiliki kemampuan menekan pengusaha agar merespon tuntutan buruh lantaran khawatir investasi akan pergi. Logikanya, jika nasib buruh diperhatikan, kesejahteraan ditingkatkan, maka produktivitas kerja akan semakin meningkat sehingga makin menguntungkan pengusaha.

Perjuangan kaum buruh dalam mencapai hak-haknya tidak mudah. Dan, di antara para buruh itu, ada buruh anak yang hingga kini masih menjadi "sapi perah" pengusaha dalam mendapatkan keuntungan. Kepolosan buruh anak itu dimanfaatkan dengan cara-cara tidak manusiawi. Hak-hak mereka sebagai anak dirampas. Mereka dieksploitasi, lalu dibayar dengan upah yang sangat murah. Karenanya, bertepatan dengan peringatan hari buruh sedunia, praktik eksploitasi terhadap buruh anak menjadi isu utama. Gerakan May Day menuntut penghapusan perburuhan anak.

Tidak selayaknya seorang anak melakukan kerja-kerja kasar layaknya orang dewasa. Anak merupakan generasi penerus bangsa. Meski dari keluarga miskin, mereka memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik setara dengan anak-anak dari keluarga kaya. Namun, tekanan kemiskinan kerap memaksa mereka untuk memeras keringat. Mereka dipaksa menggadaikan hak-haknya demi membantu orang tuanya. Kemiskinan yang mendera itu menjadi bidikan para pengusaha yang tanpa manusiawi mengeksploitasi buruh anak demi melipatgandakan keuntungan dengan bayaran yang murah.

Buruh anak menjadi salah satu masalah perburuhan global dan di Indonesia. Organisasi Buruh Internasional (ILO) seperti dilansir BBC menunjukan, dari data tahun 2008-2012, jumlah buruh anak yang bekerja di bawah usia 18 tahun, mencapai sekitar 168 juta jiwa atau 11% dari penduduk di dunia. Dari jumlah tersebut, 75% ditemukan buruh anak di Afrika, 7% di Amerika Latin, dan 18% di Asia. Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), buruh anak tercatat sekitar 2,5 juta jiwa. Data tersebut berasal dari anak-anak yang bekerja di jalanan, belum lagi di sektor industri. Dalam banyak kasus, anak-anak yang masuk ke pasar kerja bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya yang miskin.

Salah satu pahlawan buruh anak yang dikenal dunia adalah Iqbal Masih. Di usianya yang belum genap 12 tahun, Iqbal lantang menggugat praktik penindasan yang dialami buruh anak di negaranya, Pakistan. Iqbal, lahir pada tahun 1983 di Muridke, sebuah desa terpencil di Pakistan. Di usia empat tahun, dia menjadi korban perbudakan. Keluarga Iqbal terpaksa merelakan Iqbal dipekerjakan di sebuah perusahaan lokal lantaran memiliki hutang sebesar 600 rupee.

Iqbal bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi karpet dan tenun. Dia dipaksa bekerja di perusahaan itu hingga hutang keluarganya lunas. Setiap hari, dia harus bangun sebelum fajar. Dia bersama dengan anak-anak lainnya, harus menyusuri jalan-jalan gelap  menuju pabrik dengan kondisi terikat rantai agar tidak melarikan diri dari majikan. Iqbal bekerja tanpa libur. Setiap hari, energinya diperas selama 14 jam. Dia hanya diberikan waktu 30 menit untuk istirahat dan hanya dibayar 3 sen per hari.

Kisah pilu yang dialami Iqbal itu menjadi ironis tatkala Pemerintah Pakistan kala itu melarang kerja paksa. Namun, rezim pemerintahan yang korup dan polisi yang gemar disuap lebih membela kepentingan para pemilik modal. Iqbal dan anak-anak lain yang senasib, dibiarkan terenggut kebebasannya, diperbudak majikan tanpa harapan.

Lantaran tak kuasa menderita, di usia 10 tahun, Iqbal mencoba melarikan diri dari pabrik. Tubuhnya yang ringkih tak tak lagi mampu menahan cambukan para mandor yang menghantam. Tatkala berhasil melarikan diri, Iqbal bersama beberapa buruh anak, melapor ke polisi tentang laku kekerasan yang dialaminya.

Namun, apa lacur? Polisi yang sudah disuap, membela sang majikan. Iqbal akhirnya harus kembali bekerja. Siksaan makin menyakitkan dirasakannya. Dia bekerja di bawah pengawasan para mandor, dengan kaki yang dirantai di mesin karpet agar tidak lagi melarikan diri. Dia pun lebih banyak mendapat kekerasan fisik dan kelaparan. Iqbal dan anak-anak lainnya diberlakukan layaknya binatang.

Di usia 12 tahun, ia kembali melarikan diri. Ketika menyaksikan perayaan hari kemerdekaan yang diselenggarakan Brick Layer Unions, Iqbal mendengar pidato tentang hak-hak buruh dan perbudakan, termasuk pembatalan semua hutang. Dia akhirnya memberanikan diri menceritakan kisahnya. Kisah pilu yang dialami Iqbal itu menuai simpati.

Salah satu pemimpin Bonded Labor Liberation Front (BLLF), sejenis organisasi pembebasan buruh Pakistan, Ehsan Ullah Khan, pun berang terhadap perlakuan pengusaha karpet terhadap Iqbal. Pengakuan Iqbal pun menumbuhkan perlawanan. BLLF pun akhirnya membebaskan Iqbal bersama beberapa buruh anak lainnya.  Setelah itu, Iqbal bergabung dengan BLLF.

Iqbal lalu dididik. Dia tumbuh menjadi bocah yang cerdas dan kritis. Di usia yang sangat muda, Iqbal telah menjadi orator ulung. Dia berpidato layaknya politisi, bahkan tanpa teks. Dia tak hanya memperjuangkan nasib buruh anak di Pakistan. Namun, Iqbal berkampanye menentang perburuhan anak di berbagai belahan dunia.

Dia mendesak dunia internasional menghentikan praktik eksploitasi terhadap anak-anak di pabrik-pabrik. Dia juga mendesak disediakan sekolah-sekolah untuk anak-anak. Perjuangan si bocah berani itu menuai apresiasi. Berkat kampanyenya dan kemampuan berorasi di hadapan khalayak, Iqbal berhasil menggalang dukungan internasional.

Setidaknya, sumbangsihnya kepada negaranya adalah berhasil membebaskan sekitar 3.000 anak Pakistan yang bekerja secara paksa dipabrik-pabrik. Dia juga mengorganisir pengumpulan dana untuk membangun sekolah-sekolah bagi anak-anak di Pakistan agar terbebas dari kebodohan yang menyebabkan mereka menjadi buruh. Dia juga menempuh pendidikan yang digelar BLLF bersama anak-anak miskin lainnya yang menjadi korban perbudakan.

Pengetahuan yang meningkat menjadikan dirinya semakin vokal. Di kerap menjadi pembicara di berbagai forum internasional dan menjadi koordinator aksi-aksi di jalanan. Iqbal bersuara lantang di tengah masih merajalelanya praktik perbudakan yang dilakukan para mafia.

Di tahun 1992, Iqbal bertandang ke Amerika Serikat dan Eropa. Di hadapan khalayak, dia berkata, “I would like to do what Abraham Lincoln did. I would like to do it in Pakistan” ucap Iqbal saat berpidato seperti dilansir moral heroes. Bahkan, dia menggalang dukungan internasional untuk memboikot ekspor karpet dari Pakistan lantaran diolah dari jerih payak anak-anak dengan bayaran yang murah. Akibatnya, ekpor karpet Pakistan melorot tajam. Sejak itu, Iqbal diduga menjadi bidikan para mafia karpet.

16 April 1995, saat usianya merangkak 13 tahun, Iqbal ditemukan tewas mengenaskan dengan luka tembak pada bagian belakang. Ketika itu, dia baru saja kembali ke Pakistan selepas perjalanannya keluar negeri menentang perbudakan pekerja anak. Menurut laporan polisi, Iqbal ditembak oleh petani lokal bernama Ashraf Hero. Namun, banyak orang percaya jika Iqbal dibunuh oleh kaki tangan mafia karpet yang mempengaruhi polisi dan menjebak Ashraf. Iqbal diduga kuat dibunuh karena lantang memboikot produk karpet Pakistan yang mengakibatkan kerugian para mafia karpet.

Keberanian Iqbal memperjuangkan hak-hak anak menjadikan namanya tercatat sebagai bocah yang menginspirasi. Dia disebut sebagai pahlawan buruh anak. Para aktivis buruh di seluruh dunia yang mengenang perjuangannya lalu mengisahkan sepak terjang Iqbal dalam sebuah film dan novel. Iqbal layak menyandang gelar pahlawan, karena di usianya yang sangat muda, tindakannya begitu berani dan tak henti menebar pesan kemanusiaannya.

Dia menginspirasi dan mendorong dunia internasional untuk memperhatikan hak-hak anak. Perjuangan Iqbal harus dilanjutkan. Pasalnya, hingga saat ini, masih ada sekitar 75.000 budak dan buruh anak di Pakistan dan 168 juta jiwa anak yang nasibnya serupa di dunia. "Anak-anak harus memakai pena di tangannya bukan alat!" tegas Iqbal dalam orasinya. 

Ratu Selvi Agnesia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 253
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 425
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 270
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Energi & Tambang