Membaca Zaman Edan dengan Isyarat Pantun Bogor

| dilihat 1764

Catatan Bang Sém

AGAK berbeda dengan pantun yang umumnya dikenali di Nusantara, Pantun Bogor lebih merupakan hikayat yang menyimpan berbagai isyarat. Pertama kali bersentuhan dengan Pantun Bogor yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai Pantun Buhun, ketika saya masih kecil.

Abah Ujang - sahabat ayah, asal Mandalawangi - Pandeglang, yang tinggal di daerah Sempur, adalah orang pertama yang 'memperkenalkannya,' setiap kali saya mengisi masa liburan. Pantun dibacakannya dengan cara 'mamaos,' dengan irama yang khas. Berbeda dengan cara 'mamaos' rumpaka Cianjuran.

Pantun berkisah ihwal seorang kakek pengembara, yang melangkah pergi meninggalkan tempat semadi di Gunung Geulis menuju Katulampa. Ketika melintasi Ciliwung, kakek itu meludah. Kakek itu berselempang kaneron, tas kecil khas masyarakat Sunda, termasuk yang bermukim di wilayah Banten.

Kaneron itu berisi keropak atau daun lontar yang bertuliskan cerita yang mengandung siloka atau makna filosofis, yang dapat dipahami ketika ada kesungguhan untuk mendalaminya. Siloka yang menegaskan hakikat makna di balik aksara dan kata yang terangkai dalam cerita.

Dimensi makna dari siloka itu, diamsalkan laksana cahaya yang menerangi, kala meniti 'jalan satapak' menembus belukar dan rimba, yang kemudian dipahami sebagai jalan kehidupan manusia yang bergerak dari sesuatu yang gelap dan jahil, dibekap oleh kebodohan dan kemiskinan, menuju cahaya kala mentari merangkak naik bersama fajar.

Memperjelas apa yang tersurat dan menguak apa yang tersirat. Cahaya yang mampu menjadi suluh kehidupan. Termasuk dalam menafsir berbagai pesan tersurat dan isyarat tersirat, antara lain dari Shanghyang Siksakandang ing Karesian atau Dharmasiksakandang. Aturan kehidupan tentang kebolehan dan larangan, yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat Pakuan dan wilayah sekitarnya.  Termasuk wasiat-wasiat Pajajaran dari Niskala Wastu Kancana, Sri Baduga Maharaja, sampai Prabu Surawisesa, yang lantas terabaikan pada masa berikutnya, sejak era Ratu Dewata. Lantas hendak dihidupkan kembali oleh Surya Kancana, namun kehilangan daya spirit dari para pengikutnya, sejak Watugilang diboyong anak buah Maulana Yusuf ke Surosowan, Banten.

Belakangan, ketika Abah Ujang Wafat, ketika beranjak belia, saya masih bisa menikmati Pantun Bogor disajikan oleh Mak Enok (Istri Abah Ujang). Juga dari Mak Romlah, kakak kandung ayah saya.

BAGI saya Pantun Bogor sebagai karya literasi tekstual dan oral menjadi menarik, khasnya sebagai 'alat' untuk membuka rahasia Cupu Manik Astagina, pusaka dewata yang diberikanb Batara Surya kepada  Dewi Indradi, yang kelak menikah dengan Resi Gutama dari pertapaan Agrastina.

Saya memandang Cupu Manik Astagina sebagai rahasia kehidupan yang memandu manusia untuk mengenali sesuatu yang khayali - ilusi dan fantasi -- dan mengubahnya menjadi cita (imajinasi) yang dapat diwujudkan, kala manusia dengan sains mengubah imajinasi sebagai visi yang memandu manusia untuk memiliki orientasi hidup.

Cupu Manik Astagina juga saya pahami sebagai konsep nilai dan norma yang menjadi salah dua inti dari budaya, yang memandu manusia mengenali hakikat cita yang bergerak menjadi visi, kemudian diwujudkan menjadi realita (cipta), melalui misi kehidupan (karsa) yang memetakan rangkaian aksi programatik (karya). Kesemuanya terpumpun dalam apa yang kemudian kita sebut sebagai rencana.

Pantun Bogor mengisyaratkan, banyak orang yang hendak mencoba membuka rahasia Pajajaran -- sejak berlangsungnya hijrah dari Galuh ke Pakuan, kejayaannya -- termasuk kemampuan dalam melakukan tata kelola kehidupan masyarakat -- sampai kemunduran dan keraibannya (murba) dengan segala musabab yang terjadi pasca Prabu Surawisesa.  Loba anu nyararoba harayang muka rahasiahna Pajajaran.  

Namun mereka tak mampu membukanya, karena rahasia membuka 'mandepun' yang menutupinya, ada dalam penguasaan Budak Angon (pemimpin) dari kalangan generasi baru (moal eudeuk kabaruka, sabab tulakna pageuh dikeukeuweuk Budak Angon). Pemimpin masa depan, itu seorang yang menguasai ilmu pengetahuan, cara mengelola ekosistem dan ekologi (anu imah inyana di birit leuwi dipantowan batu satangtung kasiyeuman ku haneuleum kakalangkangan ku hanjuang !). Belum tiba masa, untuk kebangkitan Pajajaran mengguncang 'panggung peradaban' (sabab acan wayah pieun ngalalakonkeun. Pajajaran ngamuk ngarakrak panggung !).

Semakin banyak yang mencoba membuka rahasia - yang juga sering disalah-maknai sebagai 'harta karun,' meski banyak hal ditemukan, namun sepotong-potong dan tak juga terpahamkan, karena salah menyuntingnya, serampangan dan mengabaikan hakikat norma dan nilai, serta tak bersih hati - tak pula bersih laku (beuki loba anu maruruh tambah loba anu katimu, tapi sabagiyan-sabagiayan, anu beuki bae hanteu kaharti da salalah nyabung nyabungkeun!  acak acakan ngajamkeunnana ! jeung dina maruruh harayang marapay bari diharuwapan!). Termasuk berbagai peristiwa yang terjadi di seputar Rancamaya dan Batu Tulis, tak terkecuali terjungkalnya seorang guru besar yang mengakhiri jabatannya sebagai Menteri Agama dengan citra buruk.

PANTUN Bogor mengisyaratkan, untuk menggali beragam nilai keunggulan Pajajaran yang dapat diterapkan di segala masa -- secara kontemporer dan sesuai dengan perkembangan sains teknologi --, terutama kala memasuki zaman gila (seperti saat ini, yang ditandai dengan volatility (kegamangan), uncertainty (ketidak-jelasan), complexity (keribetan), dan ambiguity (keterbelahan) alias post truth era. Zaman yang menyeret sebagian besar orang ikut-ikutan gila, tapi bagi mereka yang dianggap 'gila' - berfikir out of the box, kreatif, inovatif, dan inventif yang mampu menguaknya. Karena merekalah yang dapat melihat kebenaran di zaman gila (mapay lacak Pajajaran mah, mudu bari rubak amparan ! jeung mudu araredan heula ngarilu edan edanan, dina jaman sagala edan, da ngan ti nu keur edan ! tembong netrat ka hanteu bener teh ! ). Maknanya, kebenaran di zaman gila, tak bisa ditemukan oleh mereka yang ikutan gila, termasuk merendahkan akal budi.

Hanya pemimpin yang tak ikut gila (Budak Angon) dan pengikutnya, yang mampu membuka rahasia yang tersimpan dalam Cupu Manik Astagina - delapan nilai dasar kebenaran hakiki - yang mendalam menggali nilai dan norma dalam budaya yang membentengi nalar, nurani, naluri, rasa dan dria dalam keseimbangan semestinya (anu dina nyarukcuk bari nyaksrak. hanteu pipilueun e edanan. ngan arinyana anu. diluluguwan Budak Angon. sabab ngan inyana. anu weruh di semuna. bari nyaho di jogona).

Pemimpin yang mempunyai kecerdasan spiritual, intelektual, emosional dan mempunyai kecerdasan budaya, yang tak tunduk oleh - misalnya - politik pargamatis transaksional yang membuka pintu oligarki dan oligopoli, yang dapat memahami esensi rahasia moral yang tersembunyi, yang juga tahu bagaimana menerapkan sistem kesejahteraan semesta (universe prosperity). Mereka bukan penggembala kerbau di pematang, bukan juga penggembala badak di hutan larangan. Mereka diamsalkan, laksana ranting-ranting terserak tak terawat, di petilasan yang tak jelas namanya. Mereka banyak mengetahui rahasia kehidupan dalam merespon berbagai fenomena, namun mereka masih diam membisu (walaupun dipaksa dengan beragam cara dan dera), menunggu momentum untuk tampil, menjelaskan hal kebenaran, itu ( da inyana mah, lain ngangon kebo disampalan, lain ngangon badak di alas tangtu, tapi kalakay nu babalatak hanteu dirawat, di patilasan patilasan teu puguh ngaran ! loba anu katimu ku arinyana tapi loba anu ku arinyana disumputkeun heula, sabab acan wayah mudu dicaritakeun najan geus raraog mararenta dilalakonkeun …! )

Pemimpin masa depan (Budak Angon), itu tahu, akan tiba masa orang-orang yang ikut-ikutan edan di zaman edan, yang sibuk mengemas dan mematut dirinya, kelak akan membuka topeng-topeng dan rahasia laku buruk yang mereka simpan masing-masing. Pemimpin itu, tahu apa yang harus dilakukannya, dan bersama pengikutnya menyaksikan mereka yang edan-edanan di zaman edan tidak berdaya keluar dari kejahilan mereka ( sabab budak angon mah nyaho dina mangsa anu baris datang, baris ti jelema-jelema caropot kedok rahasiah mararuka sorangan da ngan inyana anu nyaho lalakon na bari tenget ka sakur nu di jaman edan araredan papada keur ngalalakon dina panggung sarwa sulaya ! )

Kelak, pemimpin masa depan (Budak Angon) itulah, yang akan melaksanakan lakon perubahan yang sesungguhnya, sambil menjajarkan lagi Pajajaran di tengah-tengah bangsa  dan membangkitkan kesadaran mereka yang sudah menghilangkan jiwa kebangsaan ! ( tah eta budak angon nu eta, anu engke jaga baris murwa lalakon anu saestu na, bari ngajajarkeun deui Pajajaran tengah tengah jaman Bangsa Sunda ngalaleungitkeun jiwa Sunda ! ).

Mengapa pemimpin itu tak segera dihadirkan kini? Jaman edan dan edan-edanan masih berlangsung, begitu banyak orang ikut edan, menjungkir balikkan realitas dengan berbagai fakta brutal. Biarlah zaman ini menyediakan banyak kisah dan lakon, terkait dengan lakon-lakon sebelumnya, hingga kini. Bila akan terjadi perubahan itu? Kelak, ketika tiba masa, giliran 'sukma yang harus nyukma ngusumah' menunjukkan jati diri bangsa dan kebangsaan, menjemput menetesnya kembali rahmat, kala raga - suwung menemukan kembali sukmanya yang raib (mudu ngalaman heula loba lalakon, anggeus nyorang undur jaman, datang jaman, saban jaman mawa lalakon, kebelna saban jaman anu datang piligantian saruwa jeung wayahna giliran, daratang sukma anu mudu nyukma ngusumah, eujeung nitis, eujeung wayahan raga dipindah sukma).

Akankah kita mengalaminya? Bergantung kepada kesadaran kita masing-masing. Yang pasti, berbagai pemikiran, berkembang dan mengingatkan, perlu kebangkitan kolektif untuk tidak terlena dan ikut gila-gilaan di jaman gila. Caranya? Kembali ke jati diri untuk berteguh, bak karang, tak lantak dipermainkan badai pusaran zaman yang sungsang. Meneguhkan kembali hakikat kebangsaan dengan memahami seluruh aksi transformasi sebagai suatu gerakan kebudayaan.

Para leluhur, antara lain melalui Pantun Bogor di masa lalu sudah menawarkan simptom tentang zaman yang kini kita alami. Soalnya kemudian, apakah kita -- bahkan yang lahir, tumbuh kembang, dan besar di Bogor ( Pakuan di masa Pajajaran ) paham isyarat Pantun Bogor, atau justru bergegas lari menuju ke alam budaya di negeri entah? |

Artikel ini juga dimuat dalam portal budaya eCatri

Editor : delanova
 
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 226
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 230
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 427
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 423
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 995
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 231
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 707
Momentum Cinta
Selanjutnya