
AKARPADINEWS.COM | JEPANG dikenal sebagai negara maju dan modern. Negara itu menyandang sebutan Macan Asia lantaran keseriusannya dalam melakukan "Revolusi Mental".
Mungkin, karena itu pula, pemerintahan di era Presiden Joko Widodo menjadikan Revolusi Mental sebagai cara mengubah bangsa ini menjadi lebih maju. Revolusi Mental dilakukan Jepang pasca perang dunia II. Keseriusan Jepang dalam melakukan Revolusi Mental itu dinarasikan dalam pameran foto berjuluk Metamorphosis of Japan After the War di Bentara Budaya Jakarta, yang diselenggarakan The Japan Foundation, 18-30 Mei 2016.
Pameran yang dibuka Duta Besar Jepang Tanizaki Yasuaki itu menampilkan karya-karya dari 11 fotografer papan atas Jepang. Karya yang dipamerkan mendeskripsikan sejarah tahun 1942-1964, periodisasi di kala Jepang mengalami masa suram setelah kekalahannya di Perang Dunia II.
Selain pameran foto, diselenggarakan pula diskusi seputar sejarah Jepang pascaperang bersama DR Susy Ong, lulusan Universitas Hitotsubashi. Tema yang dibahas kondisi Revolusi Mental dan Program Kerja Konkret.

Dari hasil penelitian Susy, banyak hal yang tidak diketahui masyarakat Indonesia, bahkan dunia selama ini tentang Jepang. Dia menjelaskan, karakter penduduk Negeri Matahari Terbit itu sebelum dan sesudah Perang Dunia II, tidak seperti penduduk Jepang saat ini, yang dikenal menerapkan budaya tepat waktu, rajin bekerja, disiplin, rasional, dan sebagainya.
Menurut data tertulis yang dikeluarkan Amerika Serikat, penduduk Jepang di kala perang, memiliki karakter pemalas, tidak tepat waktu, dan kurang memiliki rasa tanggungjawab. Dan, tatkala Jepang kalah perang, mereka mengalami frustasi.
Setelah tak lagi berlaga di medan perang, tentara Jepang menjadi pengangguran. Kondisi perekonomian yang semraut, menjadikan penduduk Jepang ditimpa kemiskinan yang memicu kemerosotan moral, kriminalitas, dan pelacuran. Kondisi ini membuat penduduk Jepang kehilangan respek terhadap pemerintah.
Dalam kondisi terpuruk dan frustrasi, Pemerintah Jepang saat itu memikirkan cara mengubah Jepang. 15 September 1945, hanya satu bulan setelah dinyatakan kalah perang, Pemerintah Jepang mengambil langkah awal yang revolutif, yakni melakukan rekonstruksi nasional di bidang sistem pendidikan.
Sistem pendidikan lama yang lebih menekankan formalitas dan keseragaman, dianggap membatasi cara berpikir siswa sehingga menghasilkan manusia yang tidak kreatif. Orientasi pendidikan juga diarahkan untuk mengejar ketertinggalan, khususnya di bidang teknologi dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM).

Pemerintah Jepang juga mengubah cara pandang warganya yang masih percaya takhayul, agar berpikir rasional. Sistem feodal yang masih berlaku juga diubah lantaran tidak mendukung produktifitas masyarakat.
Pertanyaan pertama yang dilontarkan Kaisar Hirohito, setelah Jepang kalah perang adalah, “Berapa jumlah guru yang masih tersisa?” Pertanyaan itu terucap karena ia yakin guru akan menjadi tonggak perubahan masyarakat Jepang.
Guru-guru yang menjadi agen perubahan tersebut lalu diberikan pelatihan untuk meningkatkan kualitas mengajarnya, termasuk merealisasi misi pendidikan yaitu menanamkan prinsip ilmiah dan mendorong peserta didik berkeinginan untuk mencari kebenaran.
Selain itu, pendidikan luar sekolah (social education) juga diberikan kepada mereka yang sudah bekerja untuk mendukung pembentukan organisasi pemuda, serikat pekerja, dan sebagainya, yang berguna dalam mendukung pembangunan Jepang.
20 Juni 1947, pemerintah meluncurkan pedoman gerakan rekonstruksi nasional dan melakukan langkah konkret agar tujuan dari Revolusi Mental tercapai. Di sektor pertanian, pembinaan diberikan kepada para petani agar dapat meningkatkan produktivitas dengan diterbitkannya undang-undang Agricultural Improvement Promotion Act pada tahun 1948.

Pemerintah juga secara intensif mensosialisasikan Revolusi Mental melalui surat kabar, poster, radio, film, dan kesenian. Pemerintah juga memanfaatkan sejumlah balai untuk mensosialisasikan gaya hidup baru seperti memasang jam dinding di karang taruna untuk mengingatkan waktu dan menghindari keterlambatan, menjaga dan membersihkan lingkungan dengan gotong-royong, menjaga ketertiban, budaya antri, berhemat, dan sebagainya.
Masyarakat diajak berhemat dan rajin menabung agar ada keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran. Hal itu perlu dilakukan karena biaya tempat tinggal pun semakin mahal. Berhemat juga erat kaitannya dengan gengsi. Saat itu, kehidupan masyarakat Jepang sarat dengan upacara-upacara tradisional dan pesta-pesta yang membutuhkan dana besar.
Masyarakat diajak untuk melepaskan rasa gengsi dan basa-basi, menyederhanakan berbagai ritual, termasuk perayaan Natal yang dikampanyekan dengan tidak memasang pohon Natal, tetapi menggantinya dengan kartu ucapan. Dilakukan pula penyederhanaan upacara pernikahan dan kematian dengan menentukan jumlah angpao.
Tahun 1955, pemerintah Jepang kembali mengeluarkan poster kampanye berhemat seperti tampak dalam poster ballerina yang menjaga keseimbangan, agar masyarakat bisa menyeimbangkan antara pengeluaran dan pendapatan.
Kampanye Gerakan Hidup Baru itu dipimpin langsung oleh Perdana Menteri sejak tahun 1955 hingga tahun 1982. Dalam gerakan ini, perbaikan kualitas sandang, pangan, dan tempat tinggal menjadi salah satu program.

Pemerintah Jepang menyakini, pemulihan kesejahteraan sosial merupakan prasyarat pemulihan moral masyarakat. Pendidikan moral dan budi pekerti juga diajarkan agar masyarakat menjaga sopan santun dan bertanggungjawab seperti tidak membuang sampah sembarangan, antri, rasional, dan tepat waktu. Warga Jepang juga disadarkan untuk menjadi pribadi yang percaya diri dan bangga terhadap negaranya.
Upaya merevolusi mental itu kini sudah terlihat hasilnya. Jepang yang kalah dalam Perang Dunia II, kini menjadi negara yang menang dalam bidang ekonomi dan teknologi.
Pengalaman dari Jepang itu, perlu menjadi pelajaran dan diterapkan bangsa Indonesia. Diawali dari keseriusan pemerintah dalam mengkampanyekan gerakan Revolusi Mental, dengan merevolusi pendidikan dan gaya hidup masyarakat.
Revolusi mental tidak bisa sebatas jargon yang terdengar provokatif, namun harus disertai langkah kongkret. Jika dilakukan secara serius dan berkelanjutan, bisa jadi, Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam dan dihuni sekitar 250 juta jiwa, akan menjadi bangsa maju yang disegani di dunia.
Ratu Selvi Agnesia