Berbagai kalangan aktivis pro demokrasi, kemanusiaan, dan perdamaian menyerukan Komite Nobel Norwegia mesti membatalkan Nobel Perdamaian 2025 kepada Maria Corina Machado, yang disebut sebagai 'pejuang' demokrasi di Venezuela.
Berbagai pandangan dan seruan kritis mengemuka dari berbagai negara. Kolomnis Alexander Verbeek, yang aktivis demokrasi (The Planet, 12/10/25) mengemukakan berbagai pandangan kritis dengan bahasa terang.
Dalam artikelnya bertajuk "The Controversy Around María Corina Machado’s Nobel Peace Prize," Verbeek menulis, semula ia menggambarkan kemenangan Machado sebagai teguran brilian terhadap ambisi otoriter Donald Trump.
Belakangan, berbagai kritik berhamburan, dengan banyak yang mengklaim bahwa Komite Hadiah Nobel Perdamaian telah keliru besar. Karenanya, patut membatalkan Machado sebagai penerima Nobel Perdamaian 2025.
Machado bukan pahlawan demokrasi, ungkap para kritikus yang datang dari sumber-sumber yang kredibel, seperti The Guardian, pakar akademis, dan organisasi hak asasi manusia internasional, yang menyuarakan keprihatinan serius tentang rekam jejak Machado.
Ternyata perempuan Venezuela, itu bersekutu erat dengan Donald Trump, dan telah menggunakan metode yang bertentangan dengan perlawanan damai yang seharusnya dihormati oleh Komite Nobel.
Tak hanya itu. Machado juga pendukung Benyamin Netanjahu, yang ditetapkan sebagai penjahat perang oleh ICC (International Criminal Court - Mahkamah Kriminal Internasional) - Den Haag, Belanda.
Verbeek mengutip David Smilde, spesialis Venezuela di Universitas Tulane, yang mencatat bahwa Machado telah berulang kali menyerukan intervensi militer asing untuk menggulingkan Maduro.
Menurut Smilde, Machado menyatakan, bahwa hanya "ancaman kredibel" berupa kekuatan militer internasional yang akan berhasil. Para kritikus berpendapat Machado menempuh "cara-cara non-demokratis" untuk mencapai tujuan-tujuan yang dianggapnya demokratis.
Para kritikus juga menunjukkan dukungan vokal Machado terhadap peningkatan kekuatan angkatan laut AS baru-baru ini di lepas pantai Karibia Venezuela. Kehadiran militer ini, yang secara resmi menargetkan perdagangan narkoba, telah dipandang secara luas sebagai langkah persiapan untuk operasi pergantian rezim melawan pemerintahan Maduro.
Memperdalam Krisis Kemanusiaan
Organisasi-organisasi hak asasi manusia memperingatkan, bahwa mendukung tekanan militer asing berisiko memperdalam krisis kemanusiaan Venezuela dan semakin mendestabilisasi kawasan tersebut.
Rekam jejak pemilu semakin memperumit masalah ini, ungkap Verbeek. Gerakan Machado seringkali memboikot pemilu lokal dan regional alih-alih berpartisipasi dalam setiap proses demokrasi yang tersedia.
Beberapa analis berpendapat, strategi ini melemahkan partisipasi demokrasi yang lebih luas dan memperdalam perpecahan di fora oposisi Venezuela, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk menampilkan front persatuan.
Aliansi internasional Machado menimbulkan kecurigaan, yang secara terbuka memuji para pemimpin seperti Nayib Bukele dari El Salvador dan Jair Bolsonaro dari Brasil.
Bolsonaro dijatuhi hukuman 27 tahun tiga bulan penjara pada bulan September 2025 oleh Mahkamah Agung Brasil karena berkonspirasi untuk mengatur upaya kudeta guna membatalkan hasil pemilu 2022 yang ia kalahkan. Bolsonaro menjadi mantan presiden Brasil pertama yang dihukum karena menyerang lembaga-lembaga demokrasi.
Penelusuran ke berbagai sumber menunjukkan informasi, Machado mendukung narasi Presiden Trump bahwa rezim Maduro di Venezuela terkait langsung dengan geng kriminal Tren de Aragua yang terkenal kejam, yang diduga terlibat dalam perdagangan narkoba dan kekerasan yang meluas ke luar Venezuela.
Beberapa analis mencatat bahwa wacana publik Machado terkadang mengarah ke bahasa yang memecah belah yang dapat mengasingkan sebagian masyarakat Venezuela, seraya mengurangi prospek rekonsiliasi yang luas.
Beberapa pakar perdamaian, bahkan mempertanyakan pendekatan konfrontatif dan intervensionis internasional Machado yang menghambat upaya solusi politik yang dinegosiasikan dan stabilisasi jangka panjang.
Para pembela Machado berpendapat, bahwa Machado menghadapi situasi yang mustahil melawan kediktatoran yang meninggalkan norma-norma demokrasi bertahun-tahun.
Kontroversi Nobel
Komite Nobel di Oslo menekankan keberaniannya hidup dalam persembunyian setelah pemilu 2024, dan kemampuannya menyatukan oposisi Venezuela yang terpecah belah. Bagi jutaan rakyat Venezuela yang mengalami penindasan otoriter, Machado mewakili harapan. (Artikel terkait: Marina Corina Machado Raih Nobel Perdamaian 2025)
The New York Times mencatat pengorbanan pribadinya, kemampuannya menyalurkan kemarahan dan harapan rakyat, sebagai sesuatu yang lebih penting bagi banyak rakyat Venezuela daripada persetujuan para pengamat internasional menyetujui taktik atau aliansinya.
Machado berasal dari keluarga kaya yang aktif secara politik dan telah menentang Chavismo selama dua puluh tahun. Namun, dibandingkan dengan politisi sayap kanan Amerika Selatan lainnya, posisinya relatif moderat.
Kompleksitas ini menjelaskan, mengapa penghargaan Nobel memicu kekaguman sekaligus kewaspadaan. Machado bukanlah pejuang demokrasi murni seperti yang awalnya digambarkan oleh Komite Nobel. Juga bukan otoriter sayap kanan ekstrem seperti yang diklaim beberapa kritikus.
David Smilde dari The Conversation menempatkan penghargaan ini dalam tradisi pilihan Hadiah Nobel yang kontroversial. Henry Kissinger, Menachem Begin, dan para peraih Nobel lainnya menang bukan karena cara-cara damai, melainkan karena memengaruhi hasil politik menuju demokrasi atau perdamaian, bahkan ketika metode atau aliansi mereka sangat kontroversial.
Komite Nobel tidak memerlukan orang suci. Mereka mengakui aktor-aktor kompleks yang menavigasi situasi yang mustahil. Nobel Perdamaian yang diraih Machado mengakui keberaniannya sekaligus realitas rumit perjuangan demokrasi melawan kediktatoran yang mengakar.
Aktivis Medea Benjamin, lewat akun X-nya menulis: "Hadiah Nobel Perdamaian untuk María Corina Machado? Maksud Anda tokoh sayap kanan ekstrem yang mendukung kudeta, memohon "bantuan" kepada Netanyahu, dan mendukung sanksi yang membuat rakyatnya kelaparan?
"Jika ini 'perdamaian,' maka kata itu telah kehilangan maknanya. Mari kita hormati para pembawa damai sejati: jurnalis dan rakyat Palestina, ibu-ibu Sudan, dokter Kuba, dan semua yang melawan kekaisaran dengan penuh kasih.
Akan halnya Machado, berulang kali menyatakan, tak gentar menghadapi genosida Gaza, dan tetap dukung Israel. Sikap ini bertentangan dengan Hugo Chavez, yang di bawah kepemimpinannya, Venezuela, memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan mengusir duta besar Israel sebagai protes terhadap Perang Gaza 2008-2009.
Mendukung Netanjahu dan Trump
Ketika berkampanye dalam Pemilihan Presiden yang diikutinya, Machado mengatakan bahwa jika terpilih, ia akan memindahkan kedutaan besar negaranya di Tel Aviv ke Yerusalem.
"Saya yakin, dan saya dapat mengumumkan, bahwa pemerintah kami akan memindahkan kedutaan besar Israel kami ke Yerusalem," kata Machado dalam suatu wawancara dengan saluran Israel.
"Saya berjanji suatu hari nanti, kita akan memiliki hubungan yang erat antara Venezuela dan Israel. Itu akan menjadi bagian dari dukungan kami kepada Negara Israel," tambahnya.
Pada tahun 2009, Venezuela, di bawah kepemimpinan Hugo Chavez, memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan mengusir duta besar Israel sebagai protes terhadap Perang Gaza 2008-2009.
Israel telah membunuh hampir 67.200 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Para ahli memperkirakan jumlahnya jauh lebih tinggi.
Meski Israel telah menghancurkan hampir seluruh wilayah kantong Palestina yang diblokade dan praktis menggusur seluruh penduduk, Machado tak peduli. Ia kerap mengemukaskan dukungannya terhadap zionis Israel dan Netanjahu.
Machado pun tak peduli ICC atau Mahkamah Kriminal Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan (November 2024) untuk Netanjahu dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Machado tahu, Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas perang yang dilakukannya di wilayah Palestina, khasnya Gaza. Namun, ia tak peduli.
Ia memberikan dukungan kepada zionis Israel dan Netanjahu sebagaimana ia secara vokal mendukung ekspansi militer Presiden AS Donald Trump di Karibia.|jeanny