Haèdar Muhammad
Menyambut 498 tahun 'usia' kota Jakarta, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta menggelar Jakarta Future Festival (antara lain) di Pusat Kesenian (dan Pemajuan Kebudayaan) Jakarta (13-15/6/25) menggelar Jakarta Future Festival (JFF) 2025.
Bagi saya, JFF 2025 yang diinisasi dan digerakkan BAPPEDA (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Jakarta, itu merupakan langkah awal yang penting. Khasnya dalam merawat dan menguatkan garèh (simpul) kolaborasi, sinergi, dan aksi kongkret melakukan reaktualisasi Jakarta sebagai Kota Global Berbudaya.
Jauh masa sebelum George Soros menginisiasi globalisma selepas runtuhnya tembok Berlin, Presiden Soekarno telah membuka cakrawala budaya kota berdimensi internasional. Sekaligus memandang kebudayaan secara dimensional meliputi nilai, norma, bahasa, seni, sastra, sains dan teknologi. Ditandai, antara lain dengan pembangunan Planetarium & Observatorium Jakarta di Kawasan Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Pada dekade 1970-an, Gubernur Ali Sadikin merespon gagasan Bung Karno dan menggerakkan transformasi Jakarta dari 'the big village' menjadi 'kota metropolitan' -- dengan segala kontroversinya.
Ia menggerakkan Bappeda DKI Jakarta, sebagai fasilitator dan katalisator berbagai kalangan khalayak: cendekiawan, seniman, sastrawan, akademisi, wartawan, aktivis mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), duduk bertukar fikiran -- secara setara -- merumuskan master plan (rencana induk) pembangunan 25 tahun Jakarta.
Sekaligus mempertemukan pendekatan struktural top down (sebagai manifestasi bureaucratic modes) dan buttom up (sebagai manifestasi populis modes), sebagai awal demokratisasi perencanaan pembangunan kota.
Pertemuan Pengalaman dan Pengetahuan
Bappeda DKI Jakarta memainkan peran penting dan strategis dalam menghimpun dan memumpun upaya memahami khalayak secara jernih dan fokus, mengakomodasi aspirasi dan inspirasi sebagai landasan dalam penyusunan program dan rencana aksi pemerintah DKI Jakarta.
Titik berat pencapaiannya adalah rencana induk pembangunan Jakarta yang menempatkan khalayak - pemangku kepentingan sebagai subyek pembangunan. Antara lain melalui kampong improvement program, yang lebih populer disebut sebagai Proyek Perbaikan Kampung Mohammad Husni Thamrin (MHT).
Spirit perencanaan pembangunan berbasis khalayak itulah yang terasa dalam JFF 2025. Selama beberapa jam, berbagai kalangan diberikan ruang luas oleh penyelenggara untuk bercakap-cakap berkontribusi pemikiran. Mempertemukan pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan (sesuai perkembangan budaya zamannya) khalayak lintas generasi, dalam melakukan reaktualisasi DKi Jakarta sebagai kota global dan berbudaya.
Janji Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno perihal pembaruan dan keberlanjutan pembangunan Jakarta ditunaikan. Baik dari sisi konseptual maupun kontekstual.
Para partisipan, khasnya kalangan khalayak ramai beroleh berbagai pemikiran berbasis pengalaman dari para gubernur: Sutiyoso, Fauzi Bowo, Basuki Tjahja Purnama, Anies Rasyid Baswedan, dan Pramono Anung.
Pun dari berbagai kalangan praktisi beragam bidang aktivitas sosial, melalui percakapan yang segar, cerdas, dan inspiratif dalam menjawab tantangan Abad XXI. Khasnya dalam menyikapi singularitas, merawat ekologi - ekosistem - ekonomi kota, transhumanisma, menyikapi globalisasi secara efektif dan efisien, mengembangkan potensi, gaya hidup kreatif berbasis sains dan teknologi, menyeimbangkan keterampilan dan kearifan (kecerdasan budaya lokal - nasional - global), merancang peradaban baru.
Perlu Dilanjutkan
Berbagai pemikiran yang mengemuka pada berbagai sesi dialog dan presentasi - eksibisi kinerja berbagai organ Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Pusat Kesenian dan Pemajuan Kebudayaan Taman Ismail Marzuki, memberi banyak data yang informatif dan edukatif, selain aksi yang menghibur (plus memantik kreativitas).
JFF 2025 bagi saya, sekaligus merupakan ajang penting dalam menyegarkan pemikiran tentang imagineering kota. Khasnya untuk memilah dan memilih ilusi, fantasi, dan imajinasi sebagai pangkal merumuskan visi, misi, program, rencana aksi, dan aksi reaktualisasi Kota Global Berbudaya. Memandu siapa saja untuk menoleh rambu-rambu yang mengingatkan kita supaya menghindari jebakan fantasi.
Di sisi lain, JFF 2025 saya pandang sebagai ajang baik dalam menghimpun yang terserak, mendekatkan yang jauh, mengkaribkan yang dekat, untuk garèh komitmen seluruh pemangku kepentingan saling berkontribusi. Tak hanya dalam mengubah cara berfikir dari warga kota megapolis menjadi warga global. Tentu juga dalam memahami transformasi kota sebagai perubahan dramatik berbudaya dan bertanggung jawab.
Pemahaman demikian akan menyemai kesadaran kolektif untuk menghidupkan kesadaran budaya (lokal, nasional, regional, global) dalam menyemai simpati, merawat empati, memelihara apresiasi, menghidupkan nyala bara respek, sehingga mampu menebar cinta dan kemanusiaan.
Hampir semua yang terlihat dan terasakan di ajang JFF 2025, juga seirama dengan berbagai produk pemikiran yang terpumpun dalam Maklumat Akademi Jakarta terkait dengan komitmen mencegah penghancuran nalar publik, penguatan kesadaran tentang praktik ESG (ekologi, social, governance), pendidikan, daya ubah seni dan kemandirian pikiran, tata kelola serta kesadaran kolektif dalam mengembangkan pengetahuan vernacular, kebudayaan berkota dan berdemokrasi, dan menegaskan hakikat pelayanan kepada khalayak sebagai kemuliaan.
Banyak hal baik dari JFF2025 yang perlu dilanjutkan dan dikembangkan. Setarikan nafas, untuk tahun-tahun mendatang dalam kaitannya dengan peringatan 500 tahun Jakarta, sudah saatnya Dinas Kebudayaan (secara kolaboratif) sudah perlu juga merancang peristiwa budaya kota global, misalnya Pekan Kebudayaan Jakarta. Tanpa kecuali, program penguatan kreativitas, inovasi, invensi, dan ekonomi budaya. |