Tinggalkan Jabatanmu

| dilihat 1930

Bang Sem

SEJUMLAH Menteri mulai sibuk menjadi tim sukses pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Yang kerap nampak di media adalah Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmi Faisal Zaini, Menteri Kelautan dan Perikanan S. Cicip Sutardjo, dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Beberapa hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah jelas mengatakan, agar para menteri itu segera mengundurkan diri. Dalam ‘bahasa SBY’ permintaan itu mengandung makna instruksi, kecuali para menteri itu tahu diri untuk segera menarik diri dari kegiatannya berpolitik praktis. Dari sisi etika politik, memang seharusnya seperti itu.

Dari aspek etika politik juga boleh dikatakan, salah satu bentuk keteladanan nyata adalah keberanian pejabat yang dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden, seharusnya berani mundur. Dalam konteks ini, sikap Hatta Rajasa patut ditiru. Sikap demikian, mengandung makna kelugasan dalam menentukan sikap. Tidak harus berkelit, apalagi berlindung di balik pasal Undang Undang.

Sikap dan tindakan Menteri atau pejabat tinggi lainnya, seperti Gubernur, yang mencalonkan diri sebagai Capres dan Cawapres (dan mereka yang aktif dalam tim sukses) bagi saya merupakan tolok ukur kapabilitasnya. Karena itu, saya bersimpati dan berempati hanya kepada mereka yang berani mengambil sikap mundur atau berhenti.

Seorang pemimpin memang akan ditentukan oleh seberapa besar nyalinya untuk mengambil sikap dan jarak terhadap jabatan, karena pada dasarnya, jabatan hanyalah sesuatu yang ‘disandang’ untuk kurun waktu tertentu. Bukan merupakan bagian dari diri yang bersangkutan.

Berbeda dengan jantung, hati, ginjal, paru-paru, bahkan tangan, kaki, dan panca indera lainnya, jabatan adalah sesuatu yang berada di luar diri seseorang. Kapan saja bisa tanggal, kapan saja bisa dan boleh ditinggalkan. Mereka yang berani meninggalkan jabatannya adalah cermin dari seseorang dengan pribadi dan kepribadian yang teguh dan tangguh. Apalagi, ketika sedang memburu jabatan yang lebih tinggi.

Kisah Abdurrahman bin Samurah pada masa Rasulullah Muhammad SAWW adalah contoh pembelajaran menarik ihwal sikap terhadap jabatan. Rasulullah mengatakan kepada Abdurrahman, janganlah meminta jabatan. “Jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong oleh Allah,” ujar Rasulullah.

Maksudnya, Allah akan menolong mereka yang mengemban amanah untuk memangku suatu jabatan, berupa taufik-Nya untuk menjalankan amanah itu dalam kebenaran. Sebaliknya, jabatan yang diberikan dan tidak dilaksanakan sesuai dengan etika dan fatsoen-nya, akan menjadi beban. Tidak hanya bagi dirinya, melainkan beban bagi banyak kalangan.

Dalam konteks kita, sebagai rakyat, subyek pemberi amanah yang melekat pada jabatan, juga harus berhati-hati untuk tidak memberikannya kepada sembarang orang, meskipun populer dan konon mempunyai elektabilitas tinggi. Rasulullah mengingatkan kepada Abu Dzar yang (diketahui) lemah untuk tidak menerima amanah dalam bentuk jabatan. Terutama, karena di dalam jabatan itu, melekat amanah yang harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah.

Jabatan itu bisa menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bayi mereka yang memperolehnya sesuai dengan kapasitas, kapabilitas, dan kompetensinya. Kemudian menunaikan amanah itu dengan tepat dan benar (sesuai dengan time line – periode yang telah diatur).

Pemimpin yang baik akan mafhum soal ini. Kecuali bagi mereka yang ambisius untuk meraih jabatan itu dengan beragam cara dan beragam bentuk rekayasa, sehingga seolah-olah dia layak dan patut menerima jabatan itu. |

Artikel ini adalah opini pribadi dan bukan sikap lembaga.

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 246
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 469
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 463
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 433
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya