Jarak Adab Mendikbud Ristek dengan Masyarakat Pendidikan

| dilihat 543

Haedar Muhammad

SAYA membaca ulang pernyataan dan penilaian Rachmat Gobel - Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang atas langkah kebijakan Nadiem Makarim - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi - termasuk penggunaan 400 orang vendor shadow organization -- mitra Direktur Jendral di lingkungan Kemendikbud.

Gobel menyatakan, Mendikbud Ristek tak paham kebutuhan bangsa, negara dan rakyat Indonesia terhadap agenda dan tata kelola pendidikan di Indonesia. (Baca Rachmat Gobel: Mendikbud Tak Paham Kebutuhan Bangsa dan Rakyat Indonesia)

Meski Nadiem dan para petinggi di Kemendikbud Ristek kerap mengemukakan, bahwa berbagai inovasi yang mereka lakukan merujuk kepada konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam konteks pendidikan yang memerdekakan.

Dalam banyak hal mereka 'mengerti, tak mau paham' hakikat pendidikan apa yang sungguh dimaksudkan para pendiri dan begawan bangsa ini tentang hakikat dan esensi pendidikan.

Nadiem, para petinggi dan kalangan di lingkungannya nampak, tak paham proses dialektika pemikiran ke-Indonesia-an dan kebangsaan dalam konteks pendidikan dari para pendiri bangsa ini.

Tak nampak ada ikhtiar untuk menggali berbagai pemikiran yang berkembang sejak HOS Tjokroaminoto ( secara intens antara 1906 - 1911) dengan pola pendidikan yang memuliakan akal budi, adab, dan bertumpu pada pembentukan karakter manusia.

Melalui Syarikat Islam yang dibangunnya (meski baru diakui pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1911), HOS Tjokroaminoto menyelenggarakan pendidikan berbasis sebersih - bersih tauhid, ilmu pengetahuan, dan siyasah (cara, metodologi, kebijakan).

Nilai-nilai dasar spiritual relijius, kebangsaan, dan kerakyatan yang selaras dengan semangat sosialisme, nasionalisme, dan demokrasi yang membentuk manusia berdaulat, inklusif, mau dan mampu melihat realitas perbedaan untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan dan kebahagiaan bersama.

Pengajaran dimanifestasikan sebagai siyasah pendidikan untuk memanifestasikan ilmu pengetahuan dalam bentuk minda (cara berfikir), bersikap, dan bertindak (berperilaku) dalam kehidupan sehari-hari. Yakni, kehidupan yang beradab dan berkeadaban.

Suatu sistem pendidikan yang membangun kesadaran, antusiasme, simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta kasih. Suatu rangkaian proses mencapai realitas manusia terbaik yang mampu mengharmonisasi nalar, naluri, nurani, rasa, dan dria. Suatu sistem pendidikan yang menghidupkan spirit dan kemauan setiap individu menjadi manusia dengan kemerdekaan dan kedaulatan sejati.

Dari HOS Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, Soetomo, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Sutan Takdir Alisjahbana, Safe'i, van Lith, Sudjatmoko, sampai Romo Mangun Wijaya, menempatkan pendidikan sebagai cara mencapai kemuliaan manusia, bukan sekadar menjadi sumberdaya.  Tidak untuk menjadikan setiap individu sebagai obyek, melainkan sebagai subyek perjuangan mencerdaskan bangsa.

Para pendiri dan pendidik bangsa tersebut, menegaskan pentingnya dimensi budaya (secara luas) dalam sistem dan proses pendidikan, sehingga pendidikan, tak berhenti hanya pada tercapainya manusia cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual yang berurusan dengan pasar industri.

Melainkan, terus berkembang sebagai cara melatih dan menempa manusia sebagai pribadi paripurna yang berdaulat atas dirinya. Terutama, karena setiap individu manusia dilahirkan untuk mengemban fungsi sebagai pemimpin di alam semesta.

Karenanya proses pendidikan diselenggarakan di atas pondasi berupa kepercayaan pada potensi diri setiap individu, cinta kebenaran dan kemerdekaan, sinergitas dan solidaritas, kesadaran atas persamaan derajat (ekuitas - ekualitas), dan kepemimpinan.

Tertambat Era Victoria

PRINSIP penyelenggaraan pendidikan berbasis hing ngarsa sung tulada, hing madya mengunkarsa, tut wur handayani yang dilansir Ki Hadjar Dewantara, terkoneksi dengan  harsa, kawasa, dan mardhika yang digagas HOS Tjokroaminoto.

Pendidikan, dengan demikian, merupakan suatu cara sistematis, terencana, dan beradab yang menempa kematangan (kedewasaan) jiwa dan spiritual peserta didik. Subyek yang kreatif, inovatif, dan inventif. Khasnya dalam mengelola ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai perangkat kehidupan. Bukan dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sejak diangkat dan dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan -- kemudian Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) -- Mendikbud Ristek terkesan sibuk dengan kekaguman berlebih pada faktor teknologi, bukan pada faktor manusia.

Berbagai sikap dan tindakan Mendikbud Ristek -- yang diikuti para petinggi di Kemendikbud Ristek -- termasuk tentang transformasi pendidikan, terkesan mengabaikan apa yang sejak lama tertanam, tersemai, dan tumbuh dalam strategi pendidikan sebelum kementerian itu ada.

Ini juga yang akhirnya diduga mempengaruhi, mengapa dirinya lebih sebagai subyek penentu kebijakan pendidikan, mengambil jarak dengan pemangku kepentingan pendidikan sebagai obyek. Mendikbud Ristek abai terhadap dimensi kedalaman manusia.

Tanpa titik berat pada manusia, segala kaidah yang terkait dengan keterampilan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital, yang berorientasi pada masyarakat digital, ekonomi digital, dan governansi digital akan menghadapi masalah. Karena kesemuanya masih bertumpu pada orientasi dan pola klasik, yakni bertumpu pada produk (sumberdaya manusia) dan bukan khalayak (rakyat - bangsa).

Kita membaca orientasi penyelenggaraan pendidikan yang hendak digerakkannya (dengan anggaran sangat besar: 20 persen dari APBN), masih tertambat pada era Victoria yang mengutamakan perubahan radikal sekolah untuk memenuhi  pasar kerja (dalam proses industrialisasi) semata.

Perubahan yang hanyut oleh arus besar gerakan reformasi pendidikan global -- dengan didaktika dan pedagogi alternatif -- yang mereduksi fungsi dan peran guru (dosen). Tak terkecuali, upaya ambisius membentuk generasi transisi yang selalu diasumsikan dapat mendapatkan 'kemanusiaan artifisial' di tengah fase kekacauan era Post Trust kini. Di tengah fase Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity (ketidakpastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan).

James Martin - tokoh revolusioner Universitas Oxford - Inggris, lewat isyaratnya tentang tantangan abad ke 21, antara lain sudah mewanti-wanti tentang efektivitas menghadapi globalisme, dengan membuka ruang pada penguatan dan pengembangan kecerdasan budaya lokal.

Lantas peningkatan keseimbangan kecerdasan dan kearifan dalam memainkan peran inti dalam budaya kreatif, dengan bijak dalam mengendalikan teknologi yang mengarah pada era kreativitas ekstrim. Termasuk dalam mengendalikan rantai nilai bisnis yang terhubung secara elektronik (digital). Tanpa kecuali internet on think dan artificial intelligent.

Introvertasi Skill

DALAM konteks itu, sistem pendidikan semestinya ditempatkan sebagai cara memperluas potensi manusia dalam pemanfaatan teknologi canggih mutakhir, termasuk untuk kepentingan mempercepat potensi belajar. Bukan sebagai intuitive reason dan pengagungan terhadap teknologi.

Hal demikian diperlukan. Karena keterhanyutan dalam pusaran besar sains dan teknologi, yang akan menyeret manusia ke dalam jebakan singularitas - karena kecerdasan digital yang bergerak cepat dengan rangkai algoritma, yang bergerak menjadi gelombang deformasi tanpa kendali.

Sistem pendidikan semestinya, menjamin setiap peserta didik mempunyai daya (tak terkecuali argumen adab - etika utama) dalam menjelajahi transhumanisma yang terus dihidupkan oleh keseimbangan akal budi, kecerdasan dan kearifan.

Tanpa kemampuan, daya, dan dimensi kedalaman manusia menjelajahi transhumanisma, bangsa ini akan dihadapkan pada perubahan yang justru mereduksi nilai-nilai Pancasila.

Dengan daya dan kemampuan budaya (berbasis nilai religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan) melalui proses dan sistem pendidikan yang manusiawi dan beradab, singularitas dan penjelajahan transhumanitas dapat menjadi bagian proses pematangan generasi baru mampu merencanakan peradaban di zamannya. Khasnya dalam memelihara, menghidupkan, dan mengembangkan dayacipta.

Kita bisa melihat adanya kesenjangan - jarak adab antara Mendikbud Ristek dengan masyarakat pemangku kepentingan pendidikan. Terutama karena disebabkan oleh sumbatan komunikasi dirinya -- yang dikesankan terampil membangun sistem dalam bisnis tertentu, namun belum pandai mendengar, menyimak, mengkaji dan mengelola aspirasi masyarakat -bangsanya.

Boleh jadi karena introvertasi skill dan kecerdasan nalar, tanpa kematangan nurani dan rasa. Karenanya pula dapat diduga, dia masih terjebak dalam fenomena mendahulukan output katimbang outcome, mendahulukan produk, katimbang khalayak.

Jadi sangat wajar, kalau dia tak mengenal rakyat yang harus dilayaninya, dan mendapatkan resistensi dari masyarakat pendidikan, yang semestinya, bergerak bersama dirinya menguatkan mutu layanan pendidikan. Mencegah kondisi dissatisfaction dan menghambat public loyality.

Jarak adab yang terbiarkan akan terus menimbulkan jurang disparitas yang melebar, yang saya sebut sebagai jarak budaya dengan bangsanya sendiri. Bila ini berketerusan, akan terjadi tragedi pendidikan yang memakan waktu lama untuk memperbaikinya. |  

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1192
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 246
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 469
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 461
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 433
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya