Teropong Pilpres 2024

Dua Gajah Bertarung Pelanduk Mencelat Berkuasa

| dilihat 572

catatan Bang Sèm

Amsal Muhaimin Iskandar ihwal Pemilihan Presiden / Wakil Presiden 2024 laksana pertandingan sepak bola merupakan amsal yang tepat.

Ia mengatakan, wasit dan komentator pertandingan (penyelenggara pemilihan dan media) mesti sungguh konsisten dan konsekuen,menjalankan fungsinya secara benar. Tak sekadar netral, jauh dari itu, independen.

Pernyataan Calon Wakil Presiden pasangan AMIN (Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar) yang juga Ketua Umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) tersebut, merupakan isyarat bagi seluruh rakyat, untuk senantiasa waspada menghadapi setiap kemungkinan terjadinya intervensi kekuatan politik (yang tak tampak, tapi terasa). Kekuatan politik yang dapat merampas suara rakyat.

Pernyataan tersebut relevan dengan pernyataan Ketua Umum PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) Megawati Soekarnoputri yang mengisyaratkan perlunya upaya keras menghadapi kemungkinan terjadinya kecurangan.

Intervensi kekuatan politik besar, bisa datang dari dalam dan luar negeri. Bila tak dihadapi dengan seksama, akan sangat menghambat berlangsungnya penyelenggaraan demokrasi.

Dov. H. Levin dari Universitas California - Amerika Serikat (2016), mengemukakan, "Di negara-negara demokrasi, pemilu tingkat nasional merupakan peristiwa penting yang memungkinkan terjadinya perubahan secara damai pada para pengambil keputusan utama dan koalisi domestik mereka."

Dikemukakannya, perubahan tersebut, sering kali menyebabkan perubahan besar pada kebijakan dalam dan luar negeri suatu negara. Sekaligus mempengaruhi kecenderungan negara mengalami konflik (domestik dan global).

Bangkitnya Rezim Baru

Pemilihan Umum yang bersih, wajar, transparan, akuntabel, dikelola oleh penyelenggara yang independen dan bertanggung jawab, memang seringkali membuat penguasa -- yang tak menjalankan amanah rakyat secara benar -- ketar ketir. Itulah sebabnya, seringkali mereka membuka ruang bagi masuknya intervensi asing untuk mengamankan kepentingannya.

Levin menyatakan, "Dalam beberapa kasus, pemilu yang kompetitif menyebabkan jatuhnya kepemimpinan yang ada, bangkitnya rezim baru, atau transisi besar-besaran menuju demokrasi (yang sesungguhnya)."

Mengutip analisis Freedom House (2012), ilmuwan politik ini menyatakan, "aktor-aktor asing menghadapi insentif yang kuat untuk melakukan intervensi dalam pemilu yang kompetitif,..."  Terutama, ketika penguasa di suatu negara lebih sering menjalankan politik luar negeri secara transaksional.

Tak bisa dipungkiri, upaya negara-negara besar untuk ikut campur dalam pemilu di negara lain demi kepentingan kandidat atau partai tertentu, dengan melakukan operasi yang mempengaruhi hasil pemilu.

Secara historis, Rabe (1982) mencatat, antara tahun 1946 dan 2000, Amerika Serikat dan Uni Soviet/Rusia melakukan intervensi semacam ini terjadi sebanyak 117 kali, atau dengan kata lain, dalam satu dari sembilan pemilihan eksekutif kompetitif tingkat nasional selama periode ini. Belakangan hari, Tiongkok melakukan hal yang sama.

Metodenya nyaris sama, berkisar dari menyediakan dana untuk kampanye pihak yang mereka sukai. Termasuk melakukan ancaman publik untuk menghentikan bantuan dan investasi asing, jika pihak yang tidak diuntungkan menang. Seperti dilakukan Amerika Serikat pada pemilu Lebanon tahun 2009 (Ghattas 2009).

Operasi Invisible Hand

Secara domestik, intervensi tersebut nampak mewujud pada intervensi partisan, ketika diketahui atau kemudian diungkap, akan memberikan perbedaan pada hasil pemilu, sebagaimana dialami oleh negara-negara Balkan, khasnya Yugoslavia tahun 2000, ketika salah satu tokoh utama dalam keberhasilan kampanye oposisi demokratis yang dipimpin oleh Vojislav Kostunica melawan Slobodan Milosevic mengakui, bahwa “Dukungan asing [untuk kampanye] sangat penting.” (Dobbs 2000).

Di berbagai negara lain, seperti India, intervensi berlangsung melalui jalur dan jaringan pengusaha domestik dan global, dengan berbagai transaksi. Termasuk pengamanan investasi asing dan perpanjangan masa kontrak investasi asing di sektor pertambangan dan energi. Terutama ketika penguasa merasa was-was dan kuatir yang memenangkan Pemilu bukan dari kandidat yang menjamin keamanan atas dirinya, selepas turun dari tahta kekuasaan.

Levin mengingatkan, meskipun intervensi pemilu ada di mana-mana, hanya mendapat sedikit perhatian dari para ilmuwan politik. Kalaupun ada, kecenderungan mereka untuk melakukan penelitian, tergulung oleh aksi lembaga-lembaga survei berbayar tempatan, yang menggunakan media untuk menutup realitas.

Tak hanya dalam konteks memelihara citra penguasa yang masih berkuasa dengan survei persepsi terkait dengan 'kepuasaan rakyat,' dengan menggunakan metode survei 'kepuasan konsumen' atas produk barang dan jasa. Juga dalam konteks survei elektabilitas kontestan pemilu.

Berbagai kemungkinan terbukanya pintu masuk intervensi kekuatan politik besar (domestik dan lokal) melalui susunan dan struktur tim pemenangan kontestan. Bila tim pemenangan dipimpin oleh kalangan dengan habitus transaksional, disertai dengan operasi intelijen secara invisible hand, boleh diduga kontestan tersebut terhubung dengan kekuatan politik besar yang bersinergi dengan oligarki.

Pelanduk Mencelat

Dalam konteks Pemilihan Presiden/Wakil Presiden di negara-negara rentan intervensi asing dan oligarki, terutama negara-negara yang belum mampu membalik kemiskinan, politik transaksional masih  menjadi metode dalam memenangkan kontestasi dan kompetisi.

Itulah sebabnya, seringkali dalam menghadapi Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, isu tentang kontestasi cukup hanya diikuti oleh dua pasang kandidat senantiasa mengemuka. Ketika isu ini gagal terealisasi, metode yang dipakai adalah "dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengahnya."

Kekuatan politik besar dengan bantuan oligarki - politik pilantropi a la George Soros, akan berusaha sekuat tenaga menjadikan kontestan dukungannya menjadi dua gajah. Tanpa kecuali dengan menggunakan pengaruh clientelisma, khasnya kekuatan birokrasi (bureaucratic power). Juga, eksplorasi relasi sosial menggunakan struktur patron client relationship (majikan - buruh, tuan - hamba).

Pada negara-negara tertentu, secara tak terduga, justru terjadi, 'dua gajah bertarung, pelanduk mencelat dan berkuasa.' Antara lain disebabkan oleh kemampuan kontestan ketiga mampu menguatkan relasi sosial traditional authority relationship (TAR).

Dalam konteks ini dan kedisinian, seperti Indonesia, peran para pemimpin dalam relasi sosial TAR, seperti ulama, kyai, budayawan, santri, kaum amah yang tangguh - tak mudah terkontaminasi -- menjadi sangat penting.

Kendalanya adalah sosialisasi dan diseminasi gagasan kandidat yang tak dihitung (bahkan dijauhkan) oleh oligarki. Khasnya jaringan transmisi dan komunikasi media yang belum merata secara kualitas dan kuantitas. Militansi rakyat dan daya religi, dengan demikian, mesti terus diperkuat.|

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 244
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 467
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 459
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 431
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya