Senggang

Sembang Sembang di Genting Highland

| dilihat 2252

catatan sem haesy

PAGI baru beranjak, ketika mobil melaju membawa saya ke Genting High Land. Asiong terlalu lamban memacu kendaraan, menelusuri jalan dari kampung Janda Baik. Sejenak saya berhenti di kedai Mak Mirah, menikmati teh tarik dan beberapa potong lamang.

Asiong duduk di kursi lain, memesan kopi hitam, sambil mengepulkan asap rokoknya.

Beberapa saat kendaraan kembali melaju. Tiba di Genting, Hok Kian sudah menunggu di lobby hotel. Kami bergegas ke sudut resto dekat situ. Kali ini saya pesan capucino. Sudah hampir enam bulan saya tak jumpa Kian. Saya pun lama tak jumpa Waksu, teman lain yang kami tunggu.

Saya goda Hok Kian, karena mengaku, dari rumahnya di bilangan Gombak (luar kota Kuala Lumpur) ia tiba di Genting sangat cepat.

“Tak singgah dulu ke Dewa Kaya?”

Kian tertawa ngakak. Dewa Kaya, istilah yang biasa saya pakai untuk tempat-tempat perhentian yang biasa dipergunakan sebagai tempat beberapa teman keturunan China yang biasa pergi ke Genting untuk berjudi. Di kuil supermini itu, mereka biasa meletakkan hio dan membakarnya.

Bila menang judi mereka kembali mendatangi tempat-tempat itu, meletakkan hio, sambil mengeluarkan beberapa kepeng ringgit, dan membiarkannya tergeletak begitu saja. Biasanya ada orang yang datang mengambil, mengumpulkan uang logam itu.

Kalau mereka kalah, mereka tidak datang ke situ, tapi ke kuil supermini tempat Dewa Miskin ‘semayam.’ Cukup meletakkan hio, kemudian pergi dengan hati masygul.

Di jalan naik (ke) dan turun (dari) kawasan wisata Genting, memang banyak tersedia tempat ‘semayam’ Dewa Kaya dan Dewa Miskin. Kuil-kuil supermini tak hanya ada di situ. Di Pulau Pinang, bertebaran di mana-mana. Termasuk di batang pohon tua rapuh dekat penjual durian.

Apalagi kini, ketika Lim Guan Eng (dari Democratic Action Party) memerintah pulau yang diidam-idamkan oleh Singapura, itu. Kemenangan Guan Eng yang kini menjadi Ketua Menteri Pulau Pinang, sejak kekalahan terus UMNO pada Pilihan Rakyat Umum (PRU) 2008 kala Pak Lah (Abdullah Badawi) menjabat Presiden UMNO / Perdana Menteri Malaysia, itu membuat puak Melayu risau.

Guan Eng tak memberi hati kepada Puak Melayu. Bahkan lapak hidup mereka di kaki lima atau di zona-zona bazar pun terus tergusur. Perhimpunan haram (demonstrasi) menentang Guan Eng, pun tak berbuah hasil. Apalagi, DAP bersekutu dpimpinan Lim Kit Siang (ayah Guan Eng) dengan Partai Keadilan Rakyat (PKR) pimpinan Anwar Ibrahim dan Partai Islam sa Malaysia (PAS) pimpinan Haji Abdul Hadi Awang.

Ada juga Guan Eng berbagi dengan puak Melayu dari kalangan PKR dan PAS, tapi sebanding dengan porsi yang mereka berikan kepada puak China dari DAP. Bahkan, puak China dari Barisan Nasional (anggota partai MCA – Malaysia China Association dan Gerakan) pun tak mendapat bagian secara ekuit dan ekual. Ya.., begitulah politik. Siapa berkuasa, dia menentukan.

Akan halnya Genting Highland yang berada di batas antara Selangor dan Pahang itu milik Lim Goh Tong. Berada di ketinggian 1880 kaki di atas permukaan laut. Goh Tong memperolehnya pada masa pemerintahan Tun Abdul Razak, selepas dia kembali ke Kuala Lumpur dari pengembaraannya di Cameron Highlands.

Di kawasan ini Goh Tong membangun pagoda dan kuil. Kaki tangan (pegawainya), lalu membuat kuil supermini untuk ‘semayam’ dewa kaya dan dewa miskin itu. Di tempat ini, Melayu – China – India punya kesempatan yang sama untuk bekerja. Tak ada diskriminasi. Meskipun, tentu, para petingginya lebih banyak keluarga dan kerabat Goh Tong.

Siang merambat. Saya masih sembang-sembang (ngobrol) dengan Hok Kian. Telepon bimbit (mobile phone) Hok Kian berbunyi. Ternyata Waksu menghubungi. Mobilnya sedang merangkak naik ke tempat hiburan di puncak gunung Ulu Kali, itu. Tak berapa lama sudah nampak wajahnya.  Berseri-seri.

Sambil duduk Waksu spontan melontar pertanyaan. “Apa hal Jakarta? Ahok dah jadi Gabernor?” Saya mengangguk. Dia juga bertanya reaksi Front Pembela Islam (FPI). Saya cerita sekenanya. Waksu masih bertanya. Kali ini dia mau tahu pendapat saya ihwal keduanya (Ahok dan FPI). Saya katakan padanya, bagi saya keduanya perlu ada.

Alasannya? Sederhana saja. “Supaya selalu ada tontonan menarik,” Hok Kian tertawa.

Tak hanya itu. Naiknya Ahok menjadi Gubernur seharusnya membuka mata siapa saja di Jakarta dan Indonesia, dalam pertarungan politik, pemenangnya selalu mereka yang solid dan terorganisasi dengan baik. Sikap FPI yang banyak dikecam, seharusnya juga membuka mata siapa saja, pertarungan politik tak pernah tuntas. Mustinya, sikap FPI dimaknai sebagai isyarat, kekuasaan harus dikelola dengan baik dan untuk kepentingan kolektif yang lebih besar..

Saya, Hok Kian, dan Waksu menutup sembang, lunch dengan patin Temerloh..| 

Editor : Web Administrator | Sumber : foto-foto istimewa
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 248
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 474
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 465
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 438
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Energi & Tambang