Maria Ressa bukan perempuan biasa. Wajar, jika Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menghadirkannya sebagai satu di antara tiga perempuan hebat dunia sebagai pembicara terpilih untuk menyampaikan pandangan dan pemikirannya sebagai refleksi atas 80 tahun keberadaan PBB mengurusi perdamaian, Senin (22/9/25).
Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock (terpilih sebagai) Presiden Majelis Umum PBB didampingi Antonio Gutierrez, Sekretaris Jenderal PBB memimpin sidang dengan pendekatan yang karib.
Maria A Ressa, Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian (2021), tampil memikat, seolah mewakili seluruh jurnalis dan akademisi dunia yang tak putus 'gelisah' menyikapi perkembangan cepat dunia dengan segala dinamikanya. Khasnya, ketika ia melontar kata kunci motivasi yang sangat menggugah, "Saatnya berkreasi lagi: membangun dengan lebih baik. Dan bertindak. Sekarang. Sebelum terlambat."
Performanya sangat hangat dan karib dengan khalayak. Tak hanya yang berada langsung di lokasi, namun jauh dari itu yang mengikuti dengan seksama melalui media (mainstream dan sosial).
Maria bicara setelah mantan Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf dan mantan perempuan pertama Perdana Menteri Norway (1986-1989 & 1990-1996) dan mantan Direktur Jendral World Health Organization (WHO) Gro H. Brundtland.
Ressa membuka refleksinya dengan ungkapan ringan -- khas jurnalis -- kepada Baerbock, "Biasanya saya mengejar Anda di sini, dan di sinilah saya. Ini sebenarnya tempat yang sangat menarik. Begini, 80 tahun yang lalu, lembaga ini lahir untuk mencegah umat manusia menghancurkan dirinya sendiri. Tak akan pernah lagi."
Narasi itu pintu masuk yang terbuka lebar, kala Ressa menyatakan, "Setelah fasisme memanipulasi informasi, mengikis kebenaran, dan mendehumanisasi seluruh populasi untuk memungkinkan genosida dan perang global. Hari ini kita berdiri di atas reruntuhan dunia yang dulu."
Cepat dan tepat Ressa menyatakan, ".. tantangannya adalah membangun kembali PBB untuk saat ini, untuk momen ini, ketika kekuatan serupa yang menyebabkan kekejaman 80 tahun yang lalu, kini melonjak melalui platform digital, yang secara licik memanipulasi kita demi kekuasaan dan keuntungan."
Integritas Informasi
Ressa secara sadar mengingatkan, "Pertempuran terbesar yang kita hadapi saat ini adalah impunitas, dan ini mengarah pada dehumanisasi kita, baik di dunia nyata di mana perang berkecamuk dari Ukraina hingga Gaza, maupun di dunia maya, di mana pikiran dan emosi kita dimanipulasi kapitalisme pengawasan demi keuntungan."
Pendiri Rappler, ini mengingatkan, "Untuk melawannya, kita memerlukan integritas informasi untuk mengingatkan kita agar tetap menjadi manusia. Saya menjadi jurnalis karena informasi adalah kekuatan."
Kendati demikian, ujar Ressa mengemukakan realitas pahit, "Grup berita kehilangan kekuatan penjaga gerbang mereka ketika sebuah bom atom meledak di ekosistem informasi kita, suatu teknologi yang diam-diam menghancurkan fondasi yang dibangun PBB untuk dilindungi."
"Ini adalah periode paling mematikan bagi jurnalis dalam sejarah yang tercatat," tegasnya kemudian. "Lebih dari 240 jurnalis tewas di Gaza saja, lebih banyak daripada yang tewas dalam Perang Dunia I, Perang Dunia II, Vietnam, dan bekas Yugoslavia jika digabungkan. Ini belum pernah terjadi sebelumnya," ujarnya.
Mereka menjadi sasaran, dan harus ada akuntabilitas. "Kita hidup di tengah kiamat informasi, di mana kebohongan menyebar enam kali lebih cepat daripada fakta di media sosial," cetusnya.
Itu studi MIT (Massachusetts Institute of Technology) tahun 2018. Situasinya jauh lebih buruk saat ini dengan AI generatif dan ketiga indra.
"Saya telah mengatakan berulang kali sejak 2016, tanpa fakta, Anda tidak dapat memiliki kebenaran. Tanpa kebenaran, Anda tidak dapat memiliki kepercayaan. Tanpa ketiganya, kita tidak memiliki realitas bersama. Kita tidak dapat mulai memecahkan masalah apa pun, apalagi masalah eksistensial yang Anda dengar dari para pembicara sebelum saya," ungkapnya.
Ia melanjutkan, "Kita tidak dapat memiliki jurnalisme. Kita tidak dapat memiliki integritas elektoral. Kita tidak dapat memiliki demokrasi. Ini adalah manipulasi perilaku manusia di tingkat seluler negara kita."
Lumpur Beracun
Dalam pandangannya, Ressa berpendapat, "Algoritma lebih mengutamakan kemarahan daripada empati, menyebarkan ketakutan, amarah, dan kebencian, memompa kita dengan lumpur beracun." Lantas mengemukakan, "Mengatur teknologi bukanlah masalah kebebasan berbicara. Ini tentang keselamatan publik. Karena, sebagaimana telah terbukti berulang kali, kekerasan daring adalah kekerasan di dunia nyata."
Maria mengemukakan, sebagai orang Filipina, dia bangga negaranya adalah anggota pendiri PBB, salah satu dari hanya tiga negara pendiri Asia.
"Komitmen kami terhadap multilateralisme dan perdamaian sangat mendalam. Namun warisan itu diuji di bawah pemerintahan Duterte. Di antara tindakan yang diambilnya, mereka mengajukan sebelas tuntutan pidana terhadap saya dalam waktu kurang dari setahun," katanya.
"Sampai hari ini, saya masih memerlukan persetujuan Mahkamah Agung untuk berada di sini, tetapi saya di sini. Dan mantan presiden saya, ya, dia ditangkap pada bulan Maret atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan ditahan di Den Haag menunggu persidangan. Impunitas berakhir," ungkapnya.
Maria Ressa lahir 2 Oktober 1963 di Manila, Filipina. Pada usia sembilan tahun, ia dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat. Setelah kuliah di Universitas Princeton, ia kembali ke negara asalnya dan meraih gelar magister di Universitas Filipina, Diliman.
Sejak tahun 1995, Ressa bekerja sebagai koresponden lokal untuk CNN, khususnya meliput perkembangan terorisme di Asia Tenggara. Sebagai jurnalis investigasi, Maria telah membuktikan dirinya sebagai salah seorang pembela kebebasan berekspresi yang berani.
Ia mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan meningkatnya otoritarianisme rezim Presiden Rodrigo Duterte. Secara khusus, Ressa juga memusatkan perhatian kritis pada kampanye antinarkoba Presiden Duterte yang kontroversial dan mematikan.
Ia dan Rappler juga telah mendokumentasikan bagaimana media sosial digunakan untuk menyebarkan berita palsu, melecehkan lawan, dan memanipulasi wacana publik. Sebagai peraih Nobel Perdamaian, ia sempat berfikir, mengapa tidak ada yang terlalu pintar untuk tertipu daring. Karenanya, ia tahu bagaimana kebohongan di media sosial dapat menyebar lebih jauh daripada kebenaran.
Cegah Risiko AI (Artificial Intelligent)
Dalam refleksinya, Ressa mengungkap, aturan hukum yang kini diperjuangkan oleh Filipina saat memimpin enam komite masalah hukum akhirnya menang.
"Kita bergerak ke sana. Trennya jelas. Kita memilih pemimpin yang tidak liberal secara demokratis. Pada Maret tahun ini, VDM (Vienna Development Methode) mengatakan bahwa 72 persen dunia sekarang berada di bawah pemerintahan otoriter. "Jadi, kami beralih kepada Anda di PBB," tukasnya.
PBB menurut Ressa memiliki kritik, "Karena Anda harus bergerak lebih cepat. Pemungutan suara Dewan Keamanan melumpuhkan tindakan atas krisis besar. Representasi yang ketinggalan zaman, mengecualikan kekuatan yang sedang bangkit. Proses birokrasi merespons terlalu lambat terhadap ancaman yang mendesak."
Namun demikian, menurut Ressa -- seperti yang kita ketahui -- solusinya bukanlah meninggalkan multilateralisme. "Solusinya adalah memperkuat multilateralisme dengan mengatasi impunitas yang justru melemahkan hukum internasional. Di masa kehancuran kreatif ini, saya mohon Anda untuk berkreasi," jelasnya.
Selaras dengan pernyataannya itu, ia mengemukakan tiga solusi. Pertama, akhiri impunitas teknologi besar melalui akuntabilitas global. "Kita memerlukan standar yang mengikat bagi hukum internasional untuk memulihkan dan mengatur integritas informasi, seperti yang telah kita lakukan untuk senjata nuklir dan perubahan iklim."
Dua inisiatif lainnya, menurut Ressa, yakni, dari Vatikan yang dibentuk akhir pekan lalu oleh Yang Mulia Paus Leo I (14 April). Sebuah deklarasi yang menuntut kecerdasan buatan tetap berada di bawah kendali manusia dengan mekanisme akuntabilitas yang jelas.
"Solusi berikutnya akan diluncurkan hari ini, seruan global untuk batas merah AI (artificial intelligent) yang telah ditandatangani lebih dari 200 orang.
Dikatakannya, "Kami mendesak pemerintah Anda untuk menetapkan batasan internasional yang jelas guna mencegah risiko AI yang tidak dapat diterima secara universal. Setidaknya, definisikan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh AI."
Visinya Jelas
Selanjutnya, ungkap Ressa, bangun infrastruktur alternatif untuk kepercayaan. Bukan hanya perusahaan teknologi besar yang gagal melindungi publik di dunia virtual. Anda juga, para pemerintah. Ressa menjelaskan, di Rappler, "Kami membangun aplikasi obrolan menggunakan protokol sumber terbuka."
Ia menyebut negara-negara yang peduli dengan privasi data, adalah Prancis dan Jerman. Semua situs web pemerintah mereka menggunakan protokol Matrix. Protokol ini memungkinkan orang sungguhan untuk berbicara dengan orang sungguhan tanpa manipulasi.
Visinya, jelas Ressa, adalah federasi global organisasi berita tepercaya. Karena inilah cara jurnalisme akan bertahan dan bagaimana kita mulai membangun infrastruktur kepercayaan. Terakhir, adalah ciptakan !
"Ciptakan, itulah kata kami hari ini, berinvestasilah dalam solusi yang komprehensif. Biarkan imajinasi Anda mengalir. Tiga contoh yang sedang terjadi sekarang. Lebih dari tiga perempat anggota PBB kini mengakui kenegaraan Palestina, menunjukkan bahwa hukum internasional dapat maju meskipun ada impunitas gender," urainya.
Inisiatif Perempuan Nobel telah menunjukkan bahwa dalam hampir setiap konflik di seluruh dunia, perempuan memimpin upaya perdamaian, menentang penggusuran, patriarki, apartheid gender, dan kekerasan militer setiap hari.
Dan akhirnya pada hari Rabu (24/9/25), negara-negara demokrasi akan berjanji untuk memperkuat lembaga-lembaga demokrasi dan memperjuangkan integritas informasi. "Lebih dari 40 peraih Nobel telah berkumpul untuk mendukung inisiatif multilateral yang dipimpin oleh negara-negara berkembang. Integritas informasi adalah induk dari semua pertempuran," ungkapnya.
Ressa melanjutkan, "Menangkan ini dan kita dapat memenangkan sisanya. Kalah ini, kita akan kehilangan segalanya. Pilihlah keberanian daripada kenyamanan, fakta daripada fiksi, harapan daripada ketakutan."
Memungkas refleksinya, Maria Ressa menyatakan, "Banyak yang telah berubah sejak PBB dibentuk 80 tahun yang lalu. Namun nilai-nilainya, perdamaian, hak asasi manusia, keadilan, supremasi hukum, semua ini lebih penting saat ini daripada sebelumnya."
"Saatnya berkreasi lagi untuk membangun yang lebih baik. Bersama-sama, mari bertindak sekarang sebelum terlambat," Ressa meninggalkan mimbar diiringi tepuk tangan khalayak. | jeanny, gayatri