Refleksi 80 Tahun Majelis Umum PBB

Orasi Puitik Penyair Mariam Alhansislam Hantar Majelis Umum PBB 2025

| dilihat 394

Jeanny

New York pada pagi yang bersemangat. Suasana sekitar markas besar PBB di kawasan Manhattan, ramai dipadati khlayak dari seluruh dunia. Tanpa kecuali para kepala negara dan pemerintahan. Hari itu (Senin, 22/9/25), PBB menghelat  panel tingkat tinggi tahunan - 80 tahun Majelis Umum (MU).

Presiden MU80 PBB, Annalena Charlotte Alma Baerbock - Menteri Luar Negeri Jerman, memimpin Sidang Panel pembuka dengan pendekatan akal budi.  Agenda acara di awal pembukaan komemorasi PBB tersebut terasa menebar kesegaran, menganggit keseimbangan nalar, naluri, dan nurani yang memantik kecerdasan sekaligus menjentikkan rasa kemanusiaan.

Komemorasi 80 tahun MU PBB dengan sesanti, "Better together: 80 years and more for peace, development and human rights," ini memang khas, termasuk suasana di ruang sidang.  Secara kontekstual MU80 PBB, ini berlangsung di tengah situasi dunia yang gamang, tak pasti, ribet, dan mendua dengan berbagai gangguan dan tantangan.

MU80 PBB berlangsung pada momen krusial untuk memperbarui komitmen global yang terbabit langsung tak langsung dengan multilateralisme, solidaritas, dan aksi bersama bagi manusia dan planet.  Pun, menyoroti secara khusus urgensi untuk mewujudkan janji (2015), tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG's - sustainable development goals) dan menghidupkan kembali kerja sama global.

Baerbock mempersilakan pemimpin perempuan dunia mantan presiden dan perdana menteri, seorang jurnalis dan akademisi, menyampaikan refleksi yang  sangat menggugah seluruh anggota delegasi -- dari berbagai belahan dunia. Ia mempersilakan pula seorang penyair perempuan belia, menyampaikan refleksi puitik yang menarik khalayak di Ruang Sidang Utama markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), itu merasuk ke dalam dimensi kedalaman insaniah.

Sajian lagu dari performa Met Chorus ditingkah irama piano di ujung jemari David Watkins mengiringi paduan suara Hope Youth Chorus, pimpinan konduktor Tilman Michael mengawali seluruh rangkaian acara.

Lantas diakhiri dengan refleksi puitik 'mendalam' dari penyair  Nigeria, Mariam Burka Hassan alias Alhanislam, penyandang pertama "UN Global Advocate for Peace and Security," sebelum jeda untuk kemudian berlanjut dengan perdebatan para pemimpin (negarawan dan politisi) dunia berdebat aneka persoalan pelik,  termasuk laku lajak sejumlah petinggi dunia.

Selain refleksi para perempuan pemimpin dunia kaya pengalaman (dua di antaranya penerima hadiah Nobel Perdamaian), sajian orasi puitik penyair perempuan relatif belia hadir laksana cermin besar di awal rangkaian agenda, untuk para pemimpin politik dunia mawas diri atas dinamika dunia dengan seluruh rangkaian fakta brutal yang ganas.

Baerbock mengemukakan, karya-karya puisi dan ragam sastera Mariam, hadir sebagai produk budaya yang menjembatani seni, aktivisme, spirit perjuangan dan upaya penegakan hak-hak perempuan, pemberdayaan pemuda, pembangunan perdamaian dan keamanan - kenyamanan hidup.

Tumbuh dari Abu Perang dan Kesedihan

Dunia sedang diayun gelombang kehidupan yang ekstrim dan paradoks. Antara lain menyaksikan dampak pembiaran aksi zionis Israel pimpinan penjahat perang Benjamin Netanjahu sesuka hati melakukan genosida, pembunuhan, perampasan hak hidup, kolonialisme baru, dan kejahatan penghancuran nalar, naluri, nilai, norma, dan nurani kemanusiaan di Palestina khasnya di Gaza dan Tepi Barat.

Apa yang dilakukan zionis Israel adalah kejahatan paling buas sepanjang sejarah manusia, kejahatan yang tak bisa ditolerir dan tak boleh dibiarkan.

Baerbock menyampaikan pidatonya, disusul oleh pidato Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres. Lalu pidato refleksi tiga tokoh dan pembicara terkemuka, pemimpin dunia perempuan lintas bangsa dan lintas generasi : Ellen Johnson Sirleaf, mantan Presiden Liberia, penerima Hadiah Nobel Perdamaian (2011); Gro Harlem Brundtland mantan Perdana Menteri Norwey (1981, 1986-89, 1990-96) dan Direktur Jendral WHO (World Health Association (1998-2003); lalu,  Maria Angelita Ressa, Jurnalis investigasi asal Filipina - Co Founder - CEO Rappler dan Guru Besar di Universitas Columbia SIPA (School of International and Public Affair) - Penerima Hadiah Nobel Perdamaian (2021).

Ketiga figur perempuan prominen, itu masing-masing menyampaikan refleksi ihwal perdamaian, keamanan, pembangunan berkelanjutan, dan hak asasi manusia. Lalu oratori puitik Mariam.

Tiba gilirannya, dipandu staf protokoler markas besar PBB, Mariam melangkah tenang menuju mimbar bersejarah PBB, tempat para pemimpin dunia mengemukakan fikiran dan sikap mereka dalam kehidupan  dan pergaulan dunia. Penampilannya tenang dan menyita perhatian seluruh peserta.

"Berjalan di lorong-lorong ini, saya menyadari bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak dibangun dari harmoni. Perserikatan ini tumbuh dari abu perang dan kesedihan, yang disiram oleh ingatan kolektif tentang apa yang terjadi, ketika dialog dan kerja sama gagal," ujarnya kalem.

Mariam memandang ke arah khalayak, lantas secara artikulatif merlanjutkan sikap dan pandangannya. "Fondasinya bukanlah perdamaian yang tercapai, melainkan perdamaian yang diupayakan. Rapuh, tidak sempurna, penting, tidak hanya layak diperjuangkan, namun memerlukan perjuangan. Dan hari ini, delapan puluh tahun kemudian, kita berkumpul untuk menghormati apa yang telah dicapai," ujarnya.

Suaranya lantas aksentuatif, seolah menyerap cara ungkap kata gaya Cicero. Khalayak menyimak dengan serius. "Bangsa-bangsa dibangun kembali, tembok pemisah diruntuhkan, jutaan orang terangkat oleh tekad bersama. Namun, ini adalah kemenangan yang patut dikenang. Tetapi, kisahnya belum selesai. Retakan pada fondasinya mendorong kita untuk memperbaiki diri, bertindak, bukan mundur."

Dunia Berdarah di Depan Mata Kita

Mariam menarik nafas sekejap. "Dunia berdarah di depan mata kita. Anak-anak di zona konflik, bangsa-bangsa yang dibungkam oleh kelaparan dan perang... Dan ini menimbulkan pertanyaan, apakah kita menyaksikan runtuhnya hati nurani secara langsung?" ujarnya.

Suasana kian tenang, kala Mariam mengucapkan, "Karena di balik setiap pakta, ada orang-orang. Di balik setiap statistik, ada kisah. Dan di balik setiap komitmen yang kita tandatangani, ada kehidupan yang bergantung pada apakah kita menepati janji kita atau tidak. Maka, ini bukan saatnya merasa tak berdaya..  karena.. ya, harapan dan keputusasaan dapat hidup berdampingan dalam satu tarikan napas yang sama karena penyembuhan tidaklah linear."

Lantang Mariam melanjutkan, "Perserikatan Bangsa-Bangsa bukanlah sebuah monumen. Ia adalah sebuah cermin. Mencerminkan apa yang berani kita bayangkan delapan puluh tahun lalu. Dan hari ini, ia bertanya, akankah kita berani lagi? Akankah kita berani bekerja sama dengan lebih baik?"

Bak tersilap pandang, khalayak menyimak dengan pandangan tertuju kepadanya di mimbar. "Karena jika masa lalu membuktikan bahwa kita dapat membangun perdamaian dari abu, maka masa kini menuntut kita untuk membangunnya kembali, lebih lantang, lebih berani bersama," ujarnya.

Ia melanjutkan, "Saya berbicara sebagai advokat perdamaian global, bukan karena perdamaian itu mudah, tetapi karena diam adalah keterlibatan. Maka, saya tidak akan diam !!!"

Khalayak makin menyimak serius, ketika penyair, ini melanjutkan : "Tahukah Anda, dulu saya berpikir bahwa perdamaian adalah sebuah tempat, tujuan akhir yang kita tuju setelah semua perang berakhir. Namun, kini, saya memahami bahwa perdamaian bukanlah garis yang kita lewati. Perdamaian adalah pilihan yang kita buat berulang kali, terutama ketika itu adalah yang tersulit, terutama ketika terasa jauh."

Perdamaian, ujar Mariam kemudian, bukanlah diam yang kita paksakan ke dalam mulut orang-orang. Bukanlah ketiadaan perang, melainkan hadirnya pemahaman. Kedamaian adalah seorang anak yang belajar tidur kembali tanpa gentar menghadapi angin. Kedamaian adalah seorang ibu yang tak perlu memilih antara roti dan martabat. Kedamaian adalah seorang ayah yang tak perlu menelan ludah untuk merasa seperti seorang pria sejati. Kedamaian itu berantakan.

"Seperti pengampunan, kedamaian tak datang bersama kendaraan hias. Terkadang ia datang merayap melalui jendela yang pecah. Ketika kita akhirnya sepakat bahwa menjadi benar tak lebih baik daripada menjadi utuh. Kedamaian tidaklah ditemukan, ia mesti dibangun. Bata demi bata yang brutal. Oleh tangan yang dulu tahu cara bertarung, kini memilih untuk menggenggam," ungkap perempuan belia dengan irama yang terjaga.

Kedamaian adalah Puisi

Dengan teknik membaca puisi metode  Aristopanes yang tertata baik, Mariam mengemukakan, "Ada masa ketika kita mengukur kekuatan dengan seberapa lama kita bisa menyimpan dendam. Tetapi hari ini, mari kita ukur kekuatan dengan seberapa lama kita bisa memberi ruang bagi kebenaran orang lain. Mariam memandang khalayak di depannya dengan 'sapuan' pandang mata yang tajam.

Lalu, ia bicara lagi, "Karena ada aku dan kamu sebelum ada kita. Dan jika kita hancur, maka kedamaianlah yang memungkinkan kita meletakkan pecahan-pecahan itu tanpa mengincar kebenaran satu sama lain."

Mariam melanjutkan, kedamaian adalah puisi yang kau tulis setelah perang di dadamu, akhirnya kehabisan tinta. Inilah momen ketika kau kembali ke tubuhmu dan mendapati dirimu masih berdiri. Kedamaian itu tidak mudah. aka, janganlah kita lupakan mereka yang telah membawa perdamaian dengan tenang menembus api."

Khalayak terdiam. Ruang sidang senyap. Penyair Mariam melanjutkan orasi puitiknya, "Para perempuan yang tangannya memperbaiki apa yang telah dicabik perang. Yang membangun kembali rumah - rumah dari kenangan. Membesarkan anak-anak di antara pos - pos pemeriksaan. Melindungi keluarga mereka seperti bangsa di antara mereka. Karena perdamaian selalu mengenal nama seorang perempuan yang dibawa melalui jalan yang berulang kali ia pilih, keberanian daripada kehancuran."

Dengan intonansi yang terkelola, rangkaian narasi bak mengalir bersamaan dengan hembus nafasnya. Mariam seolah 'memekik dalam nurani insaniahnya.' Ia menyeru,  "Maka, hari ini aku menyerukan perdamaian ke dalam tulang-tulang dunia ini, ke dalam puing-puing, ke dalam amarah, ke dalam reruntuhan. Karena jika perang mengajarkan kita cara menghancurkan, maka perdamaian mengajarkan kita cara untuk bertahan, untuk tetap lembut, untuk tetap menjadi manusia."

Terasa ada daya yang kuat dalam narasi dan pilihan diksinya, ketika ia melanjutkan, "... mungkin, yang menjadikan kita manusia bukanlah karena kita selalu berhasil dalam perdamaian, melainkan karena kita berani berulang kali mencarinya, menolak membiarkan kehancuran kita menjadi akhir dari kisah kita."

Ia memungkas orasi puitiknya. Khalayak memberikan applaus, seolah masih menanti rangkain refleksi puitik penyair ini. Khalayak nyaris tak menyadari, sang penyair sudah mengakhiri penampilannya, lalu melangkah meninggalkan mimbar..

Orasi puitik Maryam di awal MU80 PBB ini menunjukkan daya puisi sebagai penggugah dan penyadar. Puisinya, yang dipentaskan di panggung-panggung global dari Roma hingga Kampala dan di markas besar PBB, New York City, berbicara tentang ketahanan perempuan dan pemuda di garis depan konflik dan kekuatan ekspresi kreatif untuk menginspirasi perubahan mewujudkan perdamaian. |

Editor : delanova | Sumber : UN
 
Energi & Tambang
Budaya
14 Okt 25, 20:21 WIB | Dilihat : 125
Masihkah Kita Sungguh Sebangsa Se-Tanah Air ?
21 Sep 25, 20:05 WIB | Dilihat : 396
Pariwisata dan Budaya Masa Depan Ekonomi Iran
06 Sep 25, 09:52 WIB | Dilihat : 466
Merawat Kesadaran Imani Kota Global Berbudaya
Selanjutnya