Menyimak Sidang Majelis Umum PBB ke 80 (1)

Artikulasi Pancasila dalam Pidato Perdana Presiden Prabowo

| dilihat 189

PRESIDEN Majelis Umum Persarikatan Bangsa Bangsa (PBB), Annalena Baerbock agak hati-hati dan sedikit terbata-bata mengeja nama Presiden Prabowo Subianto. "Sidang akan mendengarkan pidato dari Yang Mulia Bapak Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia," ujarnya, Selasa (23/9/25).

Sesaat kemudian, Presiden Prabowo sudah berada di balik mimbar 'plenary hall' markas besar PBB, di kawasan Manhattan, New York City, itu. Gagah dan terkesan berwibawa. Siap menyampaikan gagasan Indonesia dalam pidato berbahasa Inggris. Menyimak seluruh pidatonya, Presiden Prabowo terkesan dan terasa sedang mengartikulasikan Pancasila, tanpa harus menyebut kata 'Pancasila,' itu sendiri.

Sesaat setelah berada di balik mimbar, ia mengekspresikan kesantunan khas Indonesia -- yang melekat pada dirinya -- kepada Antonio Gutirez, Sekretaris Jenderal (Sekjend) PBB, Annalena Baerbock, Movses Abelian, Wakil Sekjend PBB urusan Majelis Umum, dan khalayak -- berbagai negara anggota PBB, termasuk para kepala negara dan pemerintahan.

Sejak menit-menit awal pidatonya dalam sesi debat, sudah membanggakan dan mengundang apresiasi. Tak hanya karena performanya dengan busana dan songkok (kopiah) hitam yang bertengger di kepalanya. Bukan juga karena volume dan irama suaranya yang menghentak. Melainkan karena ia membuka pidatonya dengan luah refleksi ke-Indonesia-an dan manifestasi prinsip sesanti 'bhinneka tunggal ika,' tanpa harus menyebutkan sesanti itu.

Presiden Prabowo menggunakan istilah universal yang nyaris tak pernah dipakai orang. "Merupakan suatu kehormatan besar bagi saya untuk berdiri di Aula Majelis Umum ini, di antara para pemimpin dan perwakilan yang mewakili hampir seluruh umat manusia. Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan. Namun, kita berkumpul bersama hari ini sebagai satu keluarga manusia," ujarnya. Diksi 'umat manusia' itu pas, pas dan sangat relevan, kala dunia kehilangan esensi kemanusiaan: cinta dan kasih sayang.

Maknanya, sejak di menit-menit awal, Presiden Prabowo meletakkan sudut pandang (angle) dan cara pandang (perspektif) dimensional tentang dimensi insani sebagai 'ketukan pertama' yang sekaligus menunjukan kehadiran Indonesia di pentas dunia. Indonesia hadir sebagaimana mestinya, setelah lebih satu dekade, hanya menghadirkan bayangan bangsa -- nation shadow -- lewat Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi - 'southeast Asia chili pepper.'

"Kita di sini, pertama dan terutama sebagai insan sesama, masing-masing diciptakan sama, dianugerahi hak yang tak tergoyahkan untuk hidup, kemerdekaan, dan mengejar kebahagiaan," ungkapnya.

Lantas, ia menukil kata-kata dalam Deklarasi Kemerdekaan PBB (yang) telah menginspirasi gerakan-gerakan demokrasi di berbagai benua, termasuk Revolusi Prancis, Revolusi Rusia, Revolusi Meksiko, Revolusi Tiongkok, dan perjuangan serta perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. "Deklarasi ini juga melahirkan deklarasi universal hak asasi manusia yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1948," ujarnya.

Kebodohan Dipicu Rasa Takut

Dengan gaya dan pola retorikanya yang aksentuatif, penetratif hipodermis -- sebagaimana dialirkan guru bangsa, 'Jang Oetama' Haji Omar Said Tjokroaminoto kepada Bung Karno dan 'kader-kader'-nya yang lain -- Presiden Prabowo  -- sebagai representative bangsa -- lantang bicara tentang ekuitas dan ekualitas insaniah.

"Semua manusia diciptakan setara adalah kredo yang membuka jalan menuju kemakmuran dan martabat global yang belum pernah terjadi sebelumnya," ungkapnya. Namun, di era kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi kita sendiri, era yang mampu mengakhiri kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan, kita juga masih menghadapi bahaya, tantangan, dan ketidakpastian yang serius," ungkapnya.

Ia menghentak khalayak, kala menyatakan, "Kebodohan manusia yang dipicu oleh rasa takut, rasisme, penindasan, dan kebencian yang terpisah, mengancam masa depan kita bersama," lanjutnya. Lantas menyajikan ekspresi 'luka sejarah' perjalanan eksistensi negara dan bangsanya.

"Negara saya tahu kepedihan ini. Selama berabad-abad, bangsa Indonesia hidup di bawah dominasi kolonial, penindasan, dan perbudakan. Kami diperlakukan lebih rendah daripada anjing di tanah air kami sendiri," ungkapnya dengan gestur yang ekspressif. "Kami, bangsa Indonesia, tahu apa artinya diabaikannya keadilan dan apa artinya hidup terpisah, hidup dalam kemiskinan, dan diabaikannya kesempatan yang sam," tegasnya.

Namun, Presiden Prabowo, juga mengusik kesadaran kolektif bangsa-bangsa di dunia, kini, untuk menghidupkan 'mutual respect' di atas kesadaran untuk secara antusias menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta (sebagai esensi kemanusiaan). "Kita juga tahu apa yang bisa dilakukan oleh solidaritas," serunya.

Dengan sikap rendah hati yang pas, ia mengemukakan, "Dalam perjuangan kita untuk kemerdekaan, dalam perjuangan kita mengatasi kelaparan, penyakit, dan kemiskinan, PBB berdiri bersama Indonesia dan memberikan kita bantuan penting."

"Keputusan-keputusan yang dibuat di sini berdasarkan solidaritas kemanusiaan oleh Dewan Keamanan dan majelis ini, mengakui kemerdekaan bagi Indonesia, legitimasi internasional, membuka pintu dan mendukung perkembangan awal kita melalui upaya Dana Anak-Anak PBB, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO : Food and Agriculture Organization), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO : World Health Organization), dan banyak lembaga PBB lainnya," lanjutnya.

Kemudian mengekspresikan 'buah kerja kolektif kebangsaan,' saat menyatakan, "Indonesia saat ini berada di ambang kemakmuran bersama dan kesetaraan serta martabat yang lebih besar."

PBB Lahir dari Abu Perang Dunia II

Beranjak dari nukilan tambo, Presiden Prabowo, melontar percik realitas pertama kehidupan yang menjentikan kesadaran dan sikap optimistik : "... dunia kita saat ini didorong oleh konflik, ketidakadilan, dan ketidakpastian yang semakin dalam. Setiap hari kita menyaksikan penderitaan, genosida, dan pengabaian terang-terangan terhadap hukum internasional dan kepatutan manusia. Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, kita tidak boleh menyerah."

Presiden Prabowo juga 'melayari bentang masa,'  ketika merespon ucapan Guterres ihwal memelihara sikap 'kita tidak boleh menyerah.' "Kita tidak boleh menyerahkan harapan atau cita-cita kita. Kita harus semakin dekat, bukan semakin menjauh. Bersama-sama, kita harus berjuang untuk mencapai harapan dan impian kita."

Presiden Prabowo mengingatkan, "PBB lahir dari abu Perang Dunia Kedua yang merenggut jutaan nyawa. PBB dibentuk untuk menjamin perdamaian, keamanan, keadilan, dan kebebasan bagi semua. Kami tetap berkomitmen pada internasionalisme, multilateralisme, dan pada setiap upaya yang memperkuat lembaga besar ini."

Lalu, ia menyampaikan kabar ihwal pergerakan Indonesia dalam proses akselerasi pencapaian visi para pendiri Republik Indonesia mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia dengan tetap memelihara tekad, "Saat ini, Indonesia semakin dekat dari sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dalam mengakhiri kemiskinan dan kelaparan ekstrem."

Dengan bahasa terang, masuk ke Palestina sebagai persoalan dunia,  Presiden Prabowo mengemukakan, "Karena bertahun-tahun yang lalu, majelis ini memilih untuk mendengarkan dan menegakkan keadilan sosial dan ekonomi. Kami tidak akan pernah lupa. Dan hari ini, kita tidak boleh tinggal diam, sementara rakyat Palestina disangkal keadilan dan legitimasi yang sama di majelis ini."

Penuh integritas, Presiden Prabowo mengajak seluruh khalayak di ruang sidang, itu sambil menukil pandangan dan peringatan Thucydides -- sejarawan dan jenderal Athena -- (History of the Peloponnesian War), "bahwa yang kuat harus melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah harus menanggung apa yang harus mereka tanggung."

Lantang ia menyatakan, "Kita harus menolak doktrin ini. PBB ada untuk menolak doktrin ini. Kita harus membela semua, baik yang kuat maupun yang lemah. Dengan kelugasannya menyatakan frasa ini, Presiden Prabowo sedang mengingatkan semua kalangan di dunia untuk tidak terjebak pada 'machtsbelust' - gila kuasa dan keserakahan, sebagaimana tersirat pada apa yang dikisahkan Thucydides tentang perang (antara Sparta dan Athena - 5SM - 411).

Thucydides menyoroti pentingnya memahami penyebab-penyebab perang yang seringkali tak terlihat seperti cinta berlebihan akan kekuasaan dan keserakahan, serta gagasan bahwa perang adalah soal uang, bukan sekadar senjata.  Bagi Prabowo sendiri, "Yang benar harus benar."

Pidato perdana Presiden Prabowo di MU80 PBB meninggalkan kesan pertama yang menggoda dan berhasil menghadirkan kembali Indonesia dalam percakapan global di ruang dan waktu yang tepat. | jeanny

Editor : delanova | Sumber : UN
 
Sporta
Budaya
14 Okt 25, 20:21 WIB | Dilihat : 126
Masihkah Kita Sungguh Sebangsa Se-Tanah Air ?
21 Sep 25, 20:05 WIB | Dilihat : 398
Pariwisata dan Budaya Masa Depan Ekonomi Iran
06 Sep 25, 09:52 WIB | Dilihat : 468
Merawat Kesadaran Imani Kota Global Berbudaya
Selanjutnya