Dari Majelis Umum PBB ke 80 - 2025

Presiden Slovenia Natasa Menilai Dewan Keamanan PBB Gagal

| dilihat 319

Tepuk tangan panjang mengiringi Presiden Slovenia, Natasa Pirc Musar meninggalkan mimbar di ruang sidang utama Majelis Umum Persarikatan Bangsa Bangsa (PBB), Rabu (24/9/25).

Beberapa detik sebelumnya, Natasa memungkas pidatonya yang tajam, namun diucapkannya dengan nada yang teratur. "Izinkan saya mengakhiri dengan pesan pribadi demi generasi mendatang, untuk memenuhi tanggung jawab kita sebagai manusia, dalam memastikan bahwa kita berada di sisi sejarah yang benar. Kita harus melakukan hal yang benar...," katanya.

Kalem, dengan emosi yang terjaga, Natasa menyatakan, "Kita tidak menghentikan Holocaust. Kita tidak menghentikan genosida di Rwanda. Kita tidak menghentikan genosida di Sbranita. Kita harus menghentikan genosida di Gaza. Tidak ada alasan lagi. Tidak ada."

Pidato Presiden Slovenia ini, secara artikulatif, memberikan aksentuasi pada peran perempuan di lingkungan PBB, dalam 'mengurus' dunia. Secara tersirat Natasa melihat  kemunduran peran PBB selama selang waktu delapan dekade.

Terpilihnya Annalena Baerbock sebagai Presiden MUPBB 80 tahun 2025, ia harapkan memberi makna atas keterlibatan kaum perempuan. Ia mengawali pidatonya dengan mengungkapkan luah hatinya, "Terimalah ucapan selamat saya yang terhangat atas terpilihnya Anda pada peringatan 80 tahun PBB yang bersejarah ini. Terpilihnya Anda menggarisbawahi betapa pentingnya melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan."

Ia mengemukakan, pada tahun 1945, berakhirnya Perang Dunia Kedua disambut dengan perayaan dan harapan akan era baru perdamaian dan kerja sama yang diwujudkan deengan pembentukan PBB.

"Namun, harapan tersebut segera pudar oleh dimulainya Perang Dingin. Ketika berakhir pada tahun 1991, kita sekali lagi berani percaya bahwa hal ini akan membuka jalan bagi visi perdamaian, keamanan, dan kerja sama abadi sebagaimana diabadikan dalam Piagam PBB," ungkapnya.

"Sayangnya, visi tersebut belum terwujud. Malahan, situasinya semakin memburuk," ujarnya, getir. Menurut Natasa, hal tersebut terjadi karena beberapa alasan.

Pertama, Dewan Keamanan yang dibayangkan sebagai pilar utama keamanan kolektif gagal memenuhi harapan dunia. "Lima anggota tetap seharusnya menjadi panutan bagi seluruh dunia yang mengupayakan perdamaian. Beberapa justru bekerja demi kepentingan mereka sendiri. Kedua, janji tujuan pembangunan berkelanjutan semakin pudar," tegasnya. Yang dia maksudkan adalah Amerika Serikat, China, Inggris, Perancis, dan Rusia.

Otoritas PBB Sedang Terancam

Dengan bahasa terang, Presiden Slovenia berambut blonde pendek, ini menyatakan, "Kemajuan melambat, dan dengan pemotongan bantuan pembangunan, jutaan orang termiskin di dunia kian jauh dari akses ke layanan paling mendasar sekalipun."

Alasan ketiga, menurutnya. hukum internasional tampaknya berada di ambang ketidakrelevanan. "Independensi hakim internasional terpilih, integritas lembaga hak asasi manusia, keamanan pribadi pembela hak asasi manusia, dan otoritas organisasi ini sedang terancam," cetusmnya.

"Keempat, konvensi genosida berisiko menjadi peninggalan masa lalu. Beberapa negara telah menempatkan Mahkamah Pidana Internasional pada tantangan terbesarnya. Para jaksa penuntut yang tugas satu-satunya adalah mengejar keadilan dan para hakimnya yang bertanggung jawab menegakkan hukum internasional kita, kini menghadapi sanksi dan intimidasi," ungkapnya lugas.

Dengan artikulasi jelas dan emosi terkendali, Natasa mengungkapkan, "Seolah-olah negara-negara yang menjatuhkan sanksi kepada mereka, lebih suka melindungi para terduga pelaku kekejaman daripada menghadapi kebenaran dan membantu menegakkan keadilan."

Alasan kelima? kata Natasa lagi,  "Pendapat penting Mahkamah Internasional yang menegaskan bahwa hukum internasional mewajibkan negara-negara untuk mencegah kerusakan iklim sudah terasa usang."

Dan terakhir, lanjutnya, negara-negara menarik diri dari perjanjian iklim Paris, perjanjian Ottawa, dan badan-badan PBB bahkan memangkas anggaran mereka.

Selanjutnya, Natasa mengemukakan, setiap tindakan tersebut mengikis dukungan bagi multilateralisme, suatu sistem yang dirancang bukan untuk segelintir orang berkuasa, melainkan untuk kepentingan kita semua.

Presiden yang modis ini melontar sejumlah pertanyaan, "Bagaimana kita akan menjelaskan tren ini kepada para pemilih kita, kepada rakyat kita, dan terutama kepada anak-anak kita? Haruskah kita memberi tahu mereka bahwa ini adalah normal baru? Kekuatan menjadi kebenaran. Bahwa yang salah dapat merebut apa yang mereka inginkan, bahwa yang kuat dapat merebut apa yang mereka inginkan, karena mereka bisa."

Dengan nada satir, Natasa mengemukakan, "Mereka dapat membunuh tanpa hukuman karena mereka bisa. Mereka dapat mencemari, mengobarkan perang, dan menginjak-injak hukum internasional hanya karena mereka bisa."

Forum Global Masa Depan

Dengan nada miris, Natasa mempertanyakan, "Apakah kita siap menatap mata anak-anak kita, dan berkata, inilah dunia yang akan kalian warisi dan tidak ada yang dapat kami lakukan untuk itu?"

Ia mengingatkan, tahun lalu, dengan diadopsinya pakta untuk masa depan, kita telah menetapkan jalan menuju PBB yang lebih kuat dan berwawasan ke depan. "Namun, kini kita harus menciptakan kondisi untuk memenuhi komitmen kita. Salah satu langkah ke depan adalah membangun jaringan advokasi permanen untuk memberikan dukungan politik berkelanjutan tanpa syarat kepada pakta tersebut."

Untuk tujuan ini, Natasa mengusulkan pembentukan forum global untuk masa depan. "Suatu gerakan inklusif negara-negara yang berkomitmen pada multilateralisme, saling menghormati, dan mempertahankan visi bersama kita. Sebuah gerakan yang bertekad untuk membela pakta tersebut dan mendorong implementasinya di setiap tingkatan," lanjutnya.

Pada bagian lain pidatonya, Natasa mengemukakan, "Ketika negara-negara mempertimbangkan cara mengimplementasikan pakta untuk masa depan, beberapa solusi mungkin dianggap tidak praktis saat ini, tetapi dalam jangka panjang, solusi tersebut bukanlah pilihan. Solusi tersebut diperlukan secara sistemik." Contoh pertama, ujarnya lanjut, adalah reformasi Dewan Keamanan.

"Kita semua mengakui bahwa Dewan Keamanan adalah badan utama yang dipercayakan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional," cetusnya. "Namun, Dewan Keamanan bukanlah dan atau tidak boleh menjadi badan yang berdiri di atas hukum internasional untuk membela kepentingan beberapa pihak dengan mengorbankan pihak lain," ungkapnya, tegas.

Menurutnya, "Norma-norma harus dilindungi sebagai prinsip. Jika larangan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diterima, dapatkah anggota tetap mengklaim hak veto yang sah dalam keadaan seperti itu?"

Natasa memandang, negara-negara anggota telah berupaya mengatasi masalah ini melalui berbagai proposal reformasi, tetapi dengan kemajuan yang minim. Inilah mengapa kita harus berani melangkah lebih jauh. Sekarang, Majelis Umum dan kita, harus mengambil langkah berani dan meminta fatwa dari Mahkamah Internasional mengenai masalah ini.

Kedua, ungkapnya, "Kita harus menghadapi kesenjangan antara kata-kata dan tindakan tentang kesetaraan gender. Kemajuan telah dicapai, tetapi masih terlalu sederhana."

Selama 80 tahun terakhir, menurut Natasa, 13 persen pemimpin di organisasi multilateral adalah perempuan, dan belum ada perempuan yang pernah menjabat sebagai sekretaris jenderal PBB. Hal ini, harus diubah.

Kesetaraan Sejati Perlu Perubahan

Jadi, serunya, "Mari kita ciptakan sejarah. Hari ini, sidang ke-80 Majelis Umum dipimpin oleh perempuan kelima yang memegang jabatan presiden. Di akhir sesi ini, beliau akan didampingi oleh seorang Sekretaris Jenderal terpilih, suatu bukti nyata bagi empat miliar perempuan, bahwa pekerjaan yang paling mustahil pun bukanlah sesuatu yang mustahil bagi mereka.

"Namun, representasi gender saja tidak cukup. Yang harus kita capai adalah kesetaraan gender yang sesungguhnya karena hal ini tidak hanya menguntungkan perempuan dan anak perempuan, tetapi juga seluruh masyarakat.," ungkapnya, lantas melanjutkan, "Kesetaraan sejati, dalam pandangan  memerlukan perubahan sistemik, sehingga pemberdayaan perempuan harus tetap menjadi inti agenda global kita."

Organisasi internasional dalam pandangannya, harus memasukkan perspektif gender ke dalam setiap kebijakan, dan hal itu harus merupakan hasil dari partisipasi efektif perempuan dan anak perempuan itu sendiri.

"Memilih seorang Sekretaris Jenderal (PBB) akan menjadi bersejarah, tetapi itu hanyalah awal dari transformasi yang jauh lebih mendalam.

Di bagian lain pidatonya, Presiden Natasa, pakta untuk masa depan menetapkan dengan jelas apa yang harus dilakukan untuk mengubah dunia kita menjadi lebih baik.

"Saya baru menyebutkan dua dari sekian banyak tantangan yang harus kita hadapi dengan tegas. Namun, kita hanya dapat berhasil sebagai sebuah komunitas, jika kita menerima bahwa tidak ada masa depan bagi umat manusia tanpa perubahan mendasar," ungkapnya.

Dengan gayanya yang tenang dan kalem, Natasa menyatakan, "Mandat forum global untuk masa depan adalah mendorong perubahan tersebut. Inilah mengapa forum ini harus inklusif. Forum ini tidak boleh hanya berupa koalisi negara-negara. Forum ini harus menginspirasi ratusan juta orang. Karena dalam hal martabat manusia, konstituensi individu-individu yang sepemikiran itu luas, beragam, dan tidak mengenal batas."

Seperti air yang mengalir, pandangan Natasa sampai pada pembicaraan tentang martabat manusia yng tidak dapat dipisahkan. "Kita harus memperjuangkannya, betapa pun besarnya rintangan yang ada," serunya.

Menurutnya, ada banyak rintangan, dan para pemimpin negara / pemerintahan  tahu itu. Ia beramsal, "Bayangkan kelaparan. Berkali-kali, umat manusia bangkit melintasi benua untuk menghadapi momok kelaparan, tetapi sia-sia."

Bersatu Meminta Pertanggungjawaban

Lebih buruk lagi, menurut Natasa, kelaparan kini dijadikan senjata, diubah menjadi alat perang. "Kita menerima laporan setiap hari tentang bagaimana perempuan dan anak-anak kelaparan karena mereka ditandai sebagai target yang sah, sebagai musuh. Betapa kejamnya, betapa tidak manusiawinya hal itu. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi lagi," ungkapnya.

Natasa memberi ilustrasi: 40 tahun yang lalu, para musisi menentang kelaparan. Alih-alih senjata, mereka justru menggunakan musik sebagai plester. "Dunia mendengar mereka, tetapi mereka tidak cukup lantang lantaran kelaparan belum diberantas," cetusnya.

Natasa mengingatkan, "Saat ini, kita memiliki sains. Kita dapat mengatasi dalam skala yang melampaui imajinasi, bukan hanya kelaparan, tetapi juga setiap tindakan kekerasan terhadap manusia dan semua ketakutan manusia."

Lugas Natasa menyatakan, "Memang, sains, teknologi, dan konektivitas global terlalu sering dipelintir oleh para pemimpin sinis dan rezim yang suka berperang, tetapi mereka juga dapat dimanfaatkan untuk kebaikan bersama."

Lantas dikemukakannya, "Seniman, influencer, dan visioner dengan jutaan penonton dapat bergabung dengan pemerintah negara-negara yang sepaham. Bersama-sama, suara mereka dalam membela kemanusiaan bisa menjadi tak tertahankan."

Menurut Natasa Pirc Musar yang berlatar penulis kreatif dan pengacara lulusan Fakultas Hukum Universitas Lju bijana - Slovenia, ini, "Bersama-sama, kita dapat menuntut tindakan nyata dari semua pemerintah, semua pemimpin dunia dan masyarakat dalam pakta untuk masa depan."

Sekaligus meminta pertanggungjawaban mereka yang mengkhianati martabat manusia hingga ke akar-akarnya, melalui perang agresi, kebijakan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Natasa yang menjabat Presiden Slovenia sejak 23 Desember 2022 tersebut meyakini, "Jika kita bersatu dan membuat diri kita didengar, tidak ada yang bisa mengabaikan kita. Bahkan pemerintah dan politisi individu yang paling arogan sekalipun."

Tentu saja, inisiatif semacam itu tidak dapat muncul begitu saja. Karena menurut penulis buku "Supreme Court of the Republic of Slovenia: profile and history," ini, rakyat kepemimpinanyang kuat, inklusif, dan tak kenal takut.

Penjaga Kekuasaan Sementara

Dikemukakannya, "Kita, para pemimpin saat ini, hanyalah penjaga kekuasaan sementara. Beberapa dari kita mungkin tidak akan berada di sini setelah pemilu berikutnya. Namun, itulah mengapa kita harus bertindak sekarang. Tanggung jawab dan takdir kita akan dinilai dari bagaimana kita memperlakukan planet dan penduduknya saat ini."

Lugas, pemimpin perempuan mantan jurnalis dan Presiden Palang Merah Slovenia, ini "Kita tidak boleh berdiam diri, acuh tak acuh, atau pasif, selama kita memegang kekuasaan dan memiliki kekuatan kata-kata. Keragu-raguan bukanlah pilihan.

Lebih jauh Natasa menyatakan, bagi sebagian besar dari anggota PBB, bukanlah kekuatan yang menentukan kebenaran. Justru sebaliknya, "Kita tidak boleh membiarkan segelintir orang yang berkuasa mengabaikan kita. Kita tidak boleh menyerah pada dunia di mana kekuasaan semata-mata berlaku. Kita, mayoritas anggota PBB, harus menjadi panutan. Kita harus bekerja untuk dunia yang berbeda."

Forum global untuk masa depan, menurutnya dapat menjadi platform bagi transformasi yang sangat diperlukan di mana kemitraan dengan aktor non-negara dan perusahaan sangat diperlukan. "Kemanfaatan pada akhirnya harus melayani pembangunan untuk semua. Inovasi dan keberlanjutan harus mendorong toleransi, saling menghormati, dan dialog yang inklusif." ujarnya.

Natasa bertanya: Apakah itu terlalu berat untuk diminta? Lantas mengemukakan, "Jika kita, para pemimpin planet ini, tidak dapat menawarkan apa pun selain teror, konflik, polusi, ketakutan, ketidaksetaraan, dan perang kepada delapan miliar orang, maka kita harus menghadapi kebenaran."

Natasa memandang, kita terlibat dalam kejahatan terhadap peradaban dan planet kita. Dan bukan hanya kita, para kepala negara, tetapi para pemimpin lembaga internasional, CEO (Chief Executive Officer), dan setiap individu yang memiliki kekuatan untuk membuat perbedaan berbagi tanggung jawab ini.

Natasa berpendapat, tak seorang pun dari kita dapat mengaku tidak tahu apa yang dipertaruhkan. Jika kita percaya pada martabat manusia untuk semua, kita harus memberikan lebih banyak. Sebuah dunia yang memenuhi kehidupan, bukan mengancamnya. Kita harus mengatakan ya untuk multilateralisme inklusif dan menolak dengan tegas untuk multiparisme.

Lebih jauh, Presiden Natasa Pirc Musar menyeru, "Mari kita tunjukkan bahwa majelis umum ini dapat dan akan membuat perbedaan sebagaimana yang telah sering dilakukan sebelumnya. Mari kita tunjukkan bahwa kita menolak arogansi, kebencian, dan kebutaan yang disengaja terhadap kurangnya kesetaraan dan keadilan terhadap perang agresi, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida karena hal-hal tersebut telah memisahkan kita dari generasi ke generasi."

Ia melanjutkan, "Dan marilah kita nyatakan dengan sungguh-sungguh dan tulus bahwa kita mengemban tanggung jawab pribadi dan kolektif untuk menjunjung tinggi kemanusiaan, pembangunan berkelanjutan, dan hukum internasional. Karena hal ini akan menjaga kita tetap bersatu sebagai sebuah peradaban untuk generasi mendatang." | jeanny
 

Artikel Terkait : Malaysia Tuntut Reformasi PBB dan Akuntabilitas Dewan Keamanan

Editor : delanova | Sumber : UN
 
Lingkungan
04 Agt 25, 02:48 WIB | Dilihat : 740
Almaty Kazakhtan Sentra Suara Akal Sehat
16 Jun 25, 13:19 WIB | Dilihat : 935
JFF 2025 Menyegarkan Imagineering Jakarta
25 Mei 25, 23:22 WIB | Dilihat : 691
Jakarta Kota Global Berbudaya
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
16 Okt 25, 20:40 WIB | Dilihat : 170
Satu Kasus Keracunan pun Tak Bisa Diterima
28 Sep 25, 09:27 WIB | Dilihat : 270
Ribuan Perwira Pertamina Tingkatkan Layanan Bisnis
16 Sep 25, 11:32 WIB | Dilihat : 301
Pertamina Role Model Keterbukaan Informasi Publik
10 Sep 25, 04:02 WIB | Dilihat : 497
Koperasi Merah Putih Sokoguru Perekonomian Indonesia
Selanjutnya